Imam Al-Qasthalani mengutip pendapat ini dalam kitab Irsyadus Sari juz XIII halaman 93 ketika menjelaskan hadis Shahih Al-Bukhari sebagai berikut:
وَيُبَاحُ فِي الثَّلَاثِ بِالْمَفْهُوْمِ وَإِنَّمَا عُفِيَ عَنْهُ فِي ذلِكَ لِأَنَّ الآدَمِيَّ مَجْبُوْلٌ عَلَى الْغَضَبِ فَسُوْمِحَ بِذلِكَ الْقَدَرِ لِيَرْجِعَ وَيَزُوْلَ ذلِكَ الْعَارِضُ عَنْهُ
Artinya, “Diperbolehkan mendiamkan orang lain selama tiga hari sesuai pemahaman hadis ini. Kebolehan menjauhi saudara adalah karena manusia adalah makhluk yang dikuasai oleh rasa marah, maka hal ini ditolerir dengan batasan tiga hari, agar rasa marah itu bisa dihilangkan dari dirinya”.
Di sisi lain, hadits tidak berarti kita boleh melakukan permusuhan dan memendam rasa buruk kepada orang lain selama tidak melewati tiga hari. Akan tetapi hadits menjelaskan bahwa perilaku tersebut tidak pantas dilakukan oleh seorang Muslim, meskipun hanya dalam waktu sebentar saja.
Seharusnya seorang Muslim tidak memiliki rasa permusuhan dengan saudaranya. Hal ini ditegaskan oleh Syekh Mula ‘Ali Al-Qari dalam kitab Mirqatul Mafatih juz IX halaman 230:
أَنَّ مُطْلَقَ الْغَضَبِ الْمُؤَدِّي إِلَى مُطْلَقِ الْهِجْرَانِ يَكُونُ حَرَامًا Artinya,
“Sungguh kemarahan mutlak yang mengakibatkan seseorang mendiamkan saudaranya secara mutlak hukumnya haram.”
Nabi saw menjelaskan di akhir hadits bahwa jika terjadi permusuhan dan jarak antara kedua orang Muslim, maka yang terbaik dari keduanya bukan orang yang memberikan maaf, akan tetapi orang yang meminta maaf pertama kali.
Selanjutnya...