Saya juga sesekali berhenti karena terengah-engah. Tapi karena ini merupakan pengalaman perdana ke Tembok Besar Cina, ada dorongan untuk tetap melanjutkan pendakian hingga ke puncak. Meski matahari pagi menjelang siang cukup terik, beruntung suhu Beijing masih cukup sejuk, yakni sekitar 18-19 derajat Celsius.
Saya akhirnya memutuskan beristirahat sejenak di sebuah area yang cukup lebar sebelum Menara 11. Di area tersebut terdapat bangunan tradisional Cina yang dialihfungsikan sebagai toilet umum. Hanya ada empat jurnalis CIPC yang tiba paling pertama di area tersebut. Selain saya, terdapat jurnalis asal Bolivia, Hungaria, dan Mongolia.
Pada momen itu, jurnalis asal Hungaria sempat menawarkan saya air mineral miliknya. Namun, saya dengan sopan menolaknya dan menyampaikan padanya bahwa saya sedang berpuasa Ramadhan.
“Oh, maafkan saya. Saya tidak tahu kalau Anda seorang Muslim,” katanya. "Tidak apa-apa," jawab saya sambil tersenyum. Kami pun akhirnya berbincang-bincang.
Karena sudah lebih dari setengah jam beristirahat, saya pikir tidak akan ada lagi jurnalis peserta CIPC yang bakal tiba di area sebelum Menara 11 tersebut. Namun, dugaan saya keliru. Tak lama berselang, satu per satu jurnalis, dengan napas terengah-engah, tiba dan ikut beristirahat di sana.
Wajah saya juga semringah ketika melihat Salam Khan Jogezai, Hasib Noor Mal, dan jurnalis Muslim lainnya asal Pakistan, yakni Umair tiba di area tersebut. Entah kenapa, saya tiba-tiba bertepuk tangan saat menyambut kedatangan mereka.
“Apa saya bilang Kamran, kita bisa mendaki sambil berpuasa,” ujar Salam Khan kepada saya sambil tertawa diiringi napas yang terengah.
Kami berempat akhirnya berbincang sejenak dan menanyakan kondisi masing-masing. Pada momen itu juga saya tahu bahwa kami berempat akan melanjutkan pendakian sampai ke Menara 12 sambil tetap berpuasa. Sungguh pengalaman menarik.
Selanjutnya...