REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konon, ketika para tokoh adat di Bukittinggi mengadakan lomba kreasi bubur di desa Jambu Air, Kecamatan Banuhampu sekitar tahun 1960-an, nenek Amai Zona terlambat mengetahui informasi itu sehingga persiapannya kurang apik.
Kendati demikian, lomba yang dia ikuti dengan persiapan seadanya itu berhasil membuatnya menjadi juara. Nenek Amai meracik enam jenis bubur dagangannya yang belum laku terjual ke dalam satu wadah, yaitu bubur ketan putih, ketan hitam, bubur sumsum, bubur kacang hijau, kolak pisang, dan biji salak.
Bubur yang membuatnya menjadi juara itu pun kemudian diberi nama Kampiun. Kampiun diambil dari bahasa Inggris "Champion" yang berarti pemenang.
Campur aduk aneka bubur legit dalam satu wadah memang tidak lazim pada masa itu, namun rupanya ketika diracik secara tepat menghasilkan cita rasa baru yang menggoyang lidah. Bubur kampiun menjadi salah satu idola terutama sebagai sajian manis untuk berbuka puasa.
Begitu sekiranya yang menarik pemuda Bendungan Hilir (Benhil) Muhammad Fahri Fadilah saat ditanya alasannya berdagang bubur kampiun di Bazaar Takjil Benhil pada hari kedua Ramadhan 1445 Hijriyah.
Di tengah arus modernisasi...