REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM - Kesederhanaan sekarang menjadi menu utama Muslim Sudan dalam berbuka puasa. Meningkatnya kebutuhan pokok, mendekatkan masyarakat negara itu pada krisis ekonomi.
Harga makanan bahkan menjadi pengerak utama inflasi tinggi di Sudan. Secara bulanan, tingkat inflasi dari Mei ke Juni meningkat 10 persen.
Banyak warga sudah berjuang dengan carut marutnya ekonomi sejak Sudan Selatan memutuskan berpisah Juli 2011 lalu. Keputusan Sudan Selatan untuk berdaulat membawa ekonomi Sudan Utara bergerak mundur.
Pasalnya ladang minyak yang menjadi sumber pendapatan terbesar negara itu hilang seiring merdekanya Sudan Selatan. Tapi Ramadhan membuat masyarakat harus mau berjuang melawan tantangan tersebut.
Menurut Daud Omar, 48 tahun, banyak warga akan berusaha keras untuk memberi anak mereka makan di Ramadhan ini. Situasi sekarang dinilainya sangat sulit dibanding bulan suci lainnya, terutama karena tiap-tiap keluarga harus menghabiskan banyak dana untuk keperluan sahur dan berbuka.
"Di bulan suci ini kami akan jarang memakan daging," ujarnya. Meningkatnya harga daging hingga dua kali lipat dibanding tahun lalu atau sekitar 37 pounds Sudan untuk tiap 1 kilogram, tidak memungkinkan keluarganya untuk menikmati pangan ini tiap hari.
Ini pun dirasakan Sumaya Ahmed. Baginya tidak ada lagi aneka ragam menu hidangan untuk menyemarakan lidah membatalkan puasa.
Ia mengaku makanan berbuka keluarganya hanya akan terdiri dari dua menu, ful dan asida, makanan dari sorgum. "Kita juga akan makan salad tanpa tomat, karena sayur itu amat mahal," ujarnya.
Sementara Amal Omar, ibu lima orang anak mengaku keluarganya akan melalui Ramadhan tahun ini tanpa hilumur, minuman khas untuk menyambut bulan suci dari sorgum. "Daging dan pemanis juga akan menghilang dari makanan Ramadhan kita," katanya.
Sebelumnya, mahasiswa Universitas Khartoum sudah memprotes permasalahan ini pada pemerintah. Tingginya harga makanan dianggap mulai mencekik warga.