Fuqaha Hanafiyah menyatakan dia wajib mengqadha semua utang puasanya sampai lunas tergantikan seluruhnya, dan tidak perlu membayar denda atau fidyah apa pun karena memang itulah ketentuan bagi orang yang tidak berpuasa, sebagaimana makna firman Allah Swt.: Dan barangsiapa yang sakit atau sedang bepergian (dan tidak berpuasa), maka dia harus berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu, di hari-hari yang lain. Allah menghen daki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu... (al-Baqarah: 185).
Sedangkan fuqaha Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah menyatakan bahwa di samping yang bersangkutan wajib mengqadha di hari-hari yang lain sejumlah utang puasanya itu, dia juga wajib membayar fidyah sejumlah utang puasa tersebut. Hal ini sebagai konsekuensi dan "hukuman" terhadap keteledorannya, sebagaimana umumnya orang yang tidak dapat mengqadha utang puasanya sampai datang Ramadhan berikutnya, maka terhadapnya dikenakan fidyah di samping kewajiban mengqadha.
Bagaimana jika penumpukan utang puasa itu sedemikian banyak, sehingga lupa jumlah persisnya berapa hari atau bahkan berapa bulan puasa yang tertinggalkan? Menyikapi orang yang demikian itu, tentu harus bijak, tidak perlu menstigmatisasi sebagai orang yang fasik, durhaka, atau label buruk lainnya.