Di Balik Perilaku Konsumtif Jelang Lebaran

Red: Ani Nursalikah

Rabu 05 Jun 2019 06:15 WIB

Seorang pengunjung memilih pakaian yang didiskon jelang Lebaran di salah satu pusat perbelanjaan Jakarta. Foto: Republika/Wihdan Hidayat Pengunjung antre membayar belanjaan di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Rabu (15/8). Mendekati warga mulai memadati pusat-pusat perbelanjaan untuk membeli kebutuhan Lebaran Idul Fitri 1433 H seperti makanan olahan, minuman dan keperluan lainya.

Hierarki Sosial

Guru Besar Sosiologi Universitas Sriwijaya (Unsri) Prof Alfitri menyebut perilaku konsumtif jelang Lebaran bagian dari upaya masyarakat membentuk hierarki sosial dengan secara sadar menimbulkan derajat atau kasta.

"Kecenderungan konsumtif itu timbul atas asumsi Idul Fitri adalah momen sakral. Kebanyakan Muslim ingin mempersiapkan segala sesuatu dengan sempurna, jadi semua pendanaan ekonomi keluarga yang sudah dikumpulkan selama satu tahun, akan ditumpahkan saat Lebaran," ujar Prof Alfitri.

Ia mengatakan perilaku tersebut memiliki sisi positif dan negatif. Bisa jadi menguntungkan, namun pada saat bersamaan dapat membahayakan masyarakat itu sendiri.

Sisi positifnya, perilaku konsumtif berhasil menggerakan aspek ekonomi, sosial, dan budaya secara bersamaan. Wilayah desa paling diuntungkan karena peredaran uang dari kota-kota terbagi ke pedesaan.

Selain itu, mobilitas sosial semakin terjalin antarmasyarakat baik level individu maupun kelompok. Keberlanjutan hubungan sosial inilah yang membuat tingkat kekerabatan di Indonesia masih tinggi.

Dua faktor tersebut mendorong kecenderungan konsumtif. Mayoritas masyarakat masih mementingkan simbolisme pada saat Lebaran sehingga muncul perilaku mubazir lantaran ada barang yang sebenarnya tidak diperlukan tapi tetap dibeli.

"Karena ingin sempurna semua dibeli. Makanan disediakan banyak-banyak, baju pasti beli baru, ada juga yang beli motor, mobil sampai rumah baru, ada dorongan ingin menampilkan kesuksesan karena hari raya adalah dianggap momen yang tepat memperlihatkan kesuksesan," kata Alfitri.

Dorongan lain munculnya perilaku konsumtif disebabkan adanya THR. Indonesia, kata Prof Alfitri, merupakan satu dari sedikit negara yang menerapkan kebijakan THR. Peredaran THR memang diharap menggerakkan ekonomi negara.

Namun, adanya THR justru membuat masyarakat harus bisa menyeimbangkan antara pengeluaran dan penghematan. Jangan sampai setelah Lebaran ketahanan ekonomi keluarga menjadi goyah dan berujung utang-piutang.

"Lebaran terjadi setiap tahun, semestinya ada pembelajaran mengenai pentingnya kerangka penghematan, memperingati hari besar cukup dengan hal-hal sederhana saja, karena intinya silaturahim tetap jalan," ujarnya.

Kerangka penghematan selaras dengan kerangka penyeimbangan antara penerimaan dan pemberian. Adanya THR menambah pendapatan rumah tangga, akan imbang jika sebagiannya dibagi-bagi kepada masyarakat prasejahtera.

Itulah adanya konsep zakat fitrah di penghujung Ramadhan. Dalam hukum Islam, zakat fitrah merupakan kewajiban, sedangkan hakikatnya ialah memantik Muslim Indonesia agar mau berbagi lebih dari itu.

Jika sikap berbagi hanya sebatas zakat fitrah, konsep keseimbangan penerimaan dan pemberian tidak akan berjalan maksimal. Bila umat melebihkannya dalam bentuk sedekah, infak dan wakaf, maka efeknya dapat mengurangi angka kemiskinan.

"Pertanyaanya apakah para Muslim sudah konsisten dengan keseimbangan ini, mana yang didahulukan? Belanja kebutuhan Lebaran atau membaginya dulu dengan kaum dhuafa? Oleh karena itu konsep resiproritas perlu diterapkan" ujarnya.

Secara sederhana resiprositas diartikan sebagai pertukaran timbal balik antarindividu atau antarkelompok. Proses pertukaran resiprositas dapat memakan waktu lama, bukan sekejap seperti proses jual-beli.

Proses tersebut bisa berlangsung sepanjang hidup seseorang di dalam mayarakat, bahkan mungkin sampai diteruskan anak keturunannya, seperti tradisi sumbang-menyumbang dalam acara pernikahan, ada proses pengulangan pada momen yang sama.

"Sayangnya masyarakat belum ada kesadaran menerapkannya, masih cenderung untuk kesombongan tapi uangnya tidak terbagi. Padahal harusnya dinamika Lebaran punya efek menurunkan kemiskinan, bukan membentuk hierarki-hierarki," kata Prof Alfitri.

Terpopuler