REPUBLIKA.CO.ID, TULUNGAGUNG - Jajaran Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, kecewa karena fatwa penutupan tempat-tempat hiburan malam, yang ditengarai sebagai sarang maksiat, selama bulan Ramadhan terkesan tak digubris oleh aparat setempat.
"MUI sangat kecewa karena faktanya masih banyak tempat-tempat hiburan malam seperti kafe, tempat karaoke, dan sebagainya masih jalan terus (beroperasi). Padahal, sejak awal bulan Ramadhan MUI sudah membuat rekomendasi tertulis terkait pelarangan tempat-tempat hiburan malam ini," kata salah seorang pengurus MUI Kabupaten Tulungagung, KH Masykur Kholil, Rabu (24/8).
Secara resmi, pihaknya memang belum menyampaikan ataupun melayangkan protes resmi ke pihak-pihak yang terkait dalam eksekusi pelarangan sementara sarana hiburan malam yang disebut Kholil sebagai sarang maksiat tersebut.
Namun, secara kelembagaan maupun di tingkat jajaran pengurus, pengasuh Pondok Pesantren Menoro di Kelurahan Bangoan, Kecamatan Kedungwaru sangat menyesalkan ketidaktegasan pemerintah daerah, dalam hal ini bupati serta aparat kepolisian, karena dinilai tidak mengawal fatwa MUI seperti diharapkan.
Buktinya, lanjut Masykur Kholil, banyak tempat hiburan, baik yang berbentuk kafe maupun rumah karaoke, tetap beroperasi sebagaimana hari biasa meski jam operasional dibatasi setelah jam shalat taraweh hingga pukul 01.00 WIB.
"Masalahnya, MUI tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan. Kami sifatnya hanya melakukan 'amar ma'ruf nahi munkar' (berseru mengajak melakukan kebaikan dan menjauhi segala tindakan yang mungkar/jahat)," ujarnya.
Meski pada akhirnya MUI tidak bisa berbuat apa-apa, sekalipun juga tidak melayangkan surat protes resmi ke bupati maupun kepolisian, Masykur tetap berharap pembiaran aktivitas/operasional sejumlah tempat hiburan malam selama bulan Ramadan tersebut tidak lagi terulang di masa mendatang.
Sebab, selain mengesankan kurangnya penghargaan serta penghormatan terhadap umat Muslim yang tengah menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, ia khawatir ketidaktegasan pemerintah bisa memicu konflik horizontal.
Menurut dia, pengalaman di sejumlah daerah, khususnya di ibu kota Jakarta, dimana ada sekelompok ormas yang melakukan razia sepihak ke tempat-tempat hiburan malam dan perjudian, harus dicegah agar tidak terjadi di Kota Marmer.
"Sekali lagi, kapasitas kami hanya mengingatkan. MUI tidak bisa berbuat apa-apa jika mereka (satpol PP dan kepolisian) tidak mau bertindak, tapi juga jangan menyalahkan siapa-siapa jika dampaknya fatal," tandasnya mengintatkan.
Terlepas dari kekecewaan MUI sebagaimana disampaikan KH Masykur Kholil, aktivitas dunia hiburan malam di Kota Marmer memang terkesan 'jalan terus'.
Pemandangan itu tidak hanya terlihat pada tempat-tempat hiburan kelas menengah ke atas seperti pub, rumah karaoke, dan kafe, tetapi juga marak terlihat di kelas ekonomi seperti 'warung kopi pangku' yang menyediakan pelayan gadis-gadis muda hingga warung remang-remang.
Bedanya dengan aktivitas pada hari-hari biasa atau di luar bulan Ramadan hanyalah pada jam operasional. Pada hari-hari biasa, jam operasional berlangsung nyaris 15 jam penuh, yakni mulai pukul 12.00 WIB hingga pukul 02.00 WIB, sementara pada bulan puasa seperti sekarang, jam operasional di batasi khusus mulai pukul 20.00 WIB hingga pukul 01.00 WIB.
Aturan jam operasional inipun informasinya tidak semuanya melaksanakan dengan tertib sesuai ketentuan pemerintah daerah. Beberapa rumah karaoke disebut-sebut ada yang membuka layanan hiburan sejak siang hingga malam, tetapi dengan cara sembunyi-sembunyi.