Ahli Hisab Berlimpah, Mengapa Indonesia Malah Menggunakan Rukyat Hilal?

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Erdy Nasrul

Sabtu 22 Apr 2023 21:13 WIB

Peneliti BRIN Thomas Djamaludin bicara tentang hisab dan rukyat hilal. Foto: Republika/Edi Yusuf Peneliti BRIN Thomas Djamaludin bicara tentang hisab dan rukyat hilal.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam setiap penentuan bulan-bulan penting dalam Islam, seperti Syawal dan Ramadhan, pemerintah Indonesia kerap menggunakan metode rukyat. Setelah hal ini dilakukan, biasanya akan dilakukan sidang isbat sebagai forum penentuan dan pengambilan keputusan.

Terkait hal ini, tokoh Muhammadiyah Din Syamsuddin menyebut pemantauan hilal dengan metode rukyat dan sidang isbat menghabiskan anggaran yang besar.

Baca Juga

"Kemarin saya usulkan kalau sudah di bawah imkanur rukyat yang dipatok pemerintah atas dasar Mabims Menag Asia Tenggara 3 derajat, ini di bawah 3 derajat, tidak usah pakai rukyat isbat itu anggarannya mahal," kata dia usai menjadi khatib shalat Idul Fitri 1444 H di halaman Jakarta International Equestrian Park (JIEP), Jumat (21/4/2023).

Tidak hanya itu, ia juga menyarankan agar berpatokan pada kalender Islam secara universal. Tujuannya, agar tidak menghabiskan anggaran untuk kegiatan rukyat hilal.

Jika dipatok bersifat nasional atau regional seperti Mabims, ia menilai hal ini akan menimbulkan masalah. Apalagi dipatok berdasarkan kriteria minimal, yang mana jika di bawah kriteria itu akan berbeda.

Dia pun menyarankan apabila hilal belum mencapai ketinggian 3 derajat, maka dapat menempuh dengan pendekatan istikmal atau pendekatan Ramadhan selama 30 hari.

Menanggapi hal ini, Profesor Riset Astronomi Astrofisika BRIN Thomas Jamaludin menyebut, pelaksanaan rukyatul hilal adalah bentuk ta’abudi (ketaatatan). Bagi pengamal rukyat, hal ini tidak perlu dipertanyakan dan diprotes, hanya ikuti saja contoh Rasul.

Rasulullah SAW memerintahkan “shuumu li ru’yatihi wa afthiru li ru’yatihi”, yang artinya berpuasalah bila melihat hilal dan berbukalah bila melihat hilal. "Ya laksanakan rukyat walau sudah tahu dari hisab tak mungkin kelihatan," tulis dia dalam blog pribadinya, dikutip Republika.co.id, Sabtu (22/4/2023).

Sebagai perbandingan, ia pun menyontohkan hadits dari Ali ra: “Seandainya agama dengan logika, maka tentu bagian bawah khuf (sepatu) lebih pantas untuk diusap daripada atasnya. Sungguh aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya (sepatunya).” (HR. Abu Daud).

Dalam perkembangan baru, Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) pada 2022 menetapkan bila posisi bulan secara hisab berada di bawah ufuk, rukyatul hilal bukan lagi menjadi fardhu kifayah atau boleh tidak melakukan rukyat. Namun, bila bulan berada di atas ufuk, walau rendah, rukyat tetap wajib dilaksanakan.

Terkait usulan sidang isbat yang ditiadakan, ia menyebut hal ini merupakan upaya pemerintah untuk memfasilitasi pengamal rukyat dan pengamal hisab secara setara.

"Pengamal hisab difasilitasi dengan dibuatnya kalender hijriyah standar Indonesia. Pengamal rukyat difasilitasi dengan itsbat (penetapan) secara nasional, karena hasil rukyat perlu diitsbatkan oleh suatu otoritas seperti dicontohkan Rasul," ujar dia.

Pemerintah disebut mengupayakan adanya kriteria, yang mempertemukan hasil rukyat dan hasil hisab dengan menggunakan kriteria imkan rukyat. Adapun sidang isbat ini dilaksanakan dalam suatu sidang, untuk mengakomodasi keberadaan ormas-ormas Islam dan melibatkan instansi terkait yang mempunyai kepakaran hisab-rukyat.

Dalam sidang itsbat itu, hasil hisab dan hasil rukyat dipertimbangkan secara setara dalam pengambilan keputusan.

"Mengapa Pemerintah tidak menggunakan kriteria Wujudul Hilal? Kriteria Wujudul Hilal eksklusif untuk pengamal hisab, tidak mengakomodasi kepentingan pengamal rukyat. Kriteria Imkan Rukyat mengakomodasi pengamal hisab dan pengamal rukyat secara setara," kata Thomas Jamaludin.