REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Penggunaan rukyat hilal untuk menentukan awal syawal, awal ramadhan, dan pergantian bulan, bukan sembarangan. Ada dalil yang menjadi pijakan Nahdlatul Ulama menggunakan metode tersebut.
Dalilnya adalah hadits Nabi Muhammad berikut ini.
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ
"Berpuasalah kalian dengan melihat hilal dan berbukalah (mengakhiri puasa) dengan melihat hilal. Bila ia tidak tampak olehmu, maka sempurnakan hitungan Sya'ban menjadi 30 hari," (HR Bukhari dan Muslim).
Rukyat hilal adalah proses melihat dan mengamati hilal langsung. Metode ini digunakan untuk melihat awal bulan, pada bulan Ramadan 1444 Hijriah digunakan untuk memastikan pergantian bulan menuju 1 Syawal atau Idulftri 2023. Adapun hilal adalah secara bahasa bermakna bulan sabit.
Jamiyah Nahdlatul Ulama (NU) memiliki banyak ahli hisab. Namun, Dalam menentukan awal bulan Hijriyah, Nahdlatul Ulama (NU) menggunakan metode rukyat, yaitu melihat hilal secara langsung atau menggunakan alat bantu seperti teropong.
Ketua Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LD PBNU), KH Abdullah Syamsul Arifin atau Gus Aab membenarkan bahwa banyak ahli hisab di kalangan NU.
"Jadi kalau ahli hisab sama-sama banyak. Tetapi penggunaan rukyat itu dikarenakan memang mengikuti terhadap apa yanng telah dilaksanakan dan dipraktikkan oleh Rasulullah," ujar Gus Aab kepada Republika, Kamis (20/4/2023).
Dia menuturkan, keberadaan ahli hisab itu penting dan pasti ada. Karena, menurut dia, hisab itu digunakan untuk menghitung keberadaan hilal atau posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender hijriyah.
"Kalau posisinya sudah di atas ufuk, maka hilal itu dalam hitungan hisab ada. Tetapi untuk kemudian dijadikan patokan berhari raya bukan adanya, tapi dilihatnya. Untuk dilihat, maka tentu di situ kriterianya dulu itu ditetapkan minimal 2 derajat," jelas Gus Aab.
Namun, kriteria itu sekarang mengacu hasil kesepakatan Menteri Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) pada 2021. MABIMS bersepakat untuk mengubah kriteria tersebut menjadi ketinggian hilal 3 derajat.
"Nah sebetulnya kalau dari hitungan hisabnya sama. Cuma, ada kawan-kawan. Misalkan seperti di Muhammadiyah yang cukup menggunakan kategori wujudul hilal. Yang penting hilal itu ada, maka dia sudah berhari raya," kata Gus Aab.
Sementara, tambah dia, yang digunakan di NU, meskipun hilal itu ada tapi belum bisa dilihat, maka belum cukup memenuhi syarat untuk kemudian mengawali Ramadhan atau mengawali Syawal untuk berhari raya.
"Jadi hisab itu digunakan untuk mengetahui posisi hilal. Karena kalau tidak menggunakan hisab, kita tidak tahu posisi hilal dan ketinggiannya berapa. Namun untuk melakukan puasa atau kita berhari raya harus menunggu hilal itu bisa terlihat," tutupnya.