Banyak Ahli Hisab, Mengapa NU Pakai Metode Rukyat dalam Menentukan Idul Fitri?

Rep: Muhyiddin/ Red: Erdy Nasrul

Kamis 20 Apr 2023 23:13 WIB

Rukyat Hilal atau pengamatan hilal Awal Syawal 1444 yang digelar Fakultas Syariah Universitas Islam Bandung (Unisba) bekerjasama dengan bagian Ruhul Islam dan Pengelolaan Masjid Unisba, BMKG, dan Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat, di Observatorium Albiruni Fakultas Syariah Unisba, Jalan Tamansari, Kota Bandung, Kamis (20/4/2023). Kegiatan tersebut dilakukan dengan menggunakan teropong manual dan digital computerize. Namun pengamatan hilal tidak dapat diselesaikan hingga tuntas akibat cuaca buruk, awan tebal dan hujan deras. Foto: Edi Yusuf/Republika Rukyat Hilal atau pengamatan hilal Awal Syawal 1444 yang digelar Fakultas Syariah Universitas Islam Bandung (Unisba) bekerjasama dengan bagian Ruhul Islam dan Pengelolaan Masjid Unisba, BMKG, dan Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat, di Observatorium Albiruni Fakultas Syariah Unisba, Jalan Tamansari, Kota Bandung, Kamis (20/4/2023). Kegiatan tersebut dilakukan dengan menggunakan teropong manual dan digital computerize. Namun pengamatan hilal tidak dapat diselesaikan hingga tuntas akibat cuaca buruk, awan tebal dan hujan deras.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jamiyah Nahdlatul Ulama (NU) memiliki banyak ahli hisab. Namun, Dalam menentukan awal bulan Hijriyah, Nahdlatul Ulama (NU) menggunakan metode rukyat, yaitu melihat hilal secara langsung atau menggunakan alat bantu seperti teropong. 

Ketua Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LD PBNU), KH Abdullah Syamsul Arifin atau Gus Aab membenarkan bahwa banyak ahli hisab di kalangan NU. Namun, menurut dia, berdasarkan hafits nabi NU menggunakan metode rukyat dalam menentukan awal bulan hijriyah, termasuk dalam menentukan Hari Raya Idul Fitri. 

Baca Juga

"Jadi kalau ahli hisab sama-sama banyak. Tetapi penggunaan rukyat itu dikarenakan memang mengikuti terhadap apa yanng telah dilaksanakan dan dipraktikkan oleh Rasulullah," ujar Gus Aab kepada Republika, Kamis (20/4/2023).

Dia pun mengutip hadits nabi. Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda,

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ

Artinya: "Berpuasalah kalian dengan melihat hilal dan berbukalah (mengakhiri puasa) dengan melihat hilal. Bila ia tidak tampak olehmu, maka sempurnakan hitungan Sya'ban menjadi 30 hari," (HR Bukhari dan Muslim).

"Jadi yang dijadikan sebagai patokan hukum itu adalah melihatnya hilal, bukan dengan adanya hilal," kata Gus Aab. 

Dia menuturkan, keberadaan ahli hisab itu penting dan pasti ada. Karena, menurut dia, hisab itu digunakan untuk menghitung keberadaan hilal atau posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender hijriyah.

"Kalau posisinya sudah di atas ufuk, maka hilal itu dalam hitungan hisab ada. Tetapi untuk kemudian dijadikan patokan berhari raya bukan adanya, tapi dilihatnya. Untuk dilihat, maka tentu di situ kriterianya dulu itu ditetapkan minimal 2 derajat," jelas Gus Aab.

Namun, kriteria itu sekarang mengacu hasil kesepakatan Menteri Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) pada 2021. MABIMS bersepakat untuk mengubah kriteria tersebut menjadi ketinggian hilal 3 derajat. 

"Nah sebetulnya kalau dari hitungan hisabnya sama. Cuma, ada kawan-kawan. Misalkan seperri di Muhammadiyah yabg cukup menggunakan kategori wujudul hilal. Yang penting hilal itu ada, maka dia sudah berhari raya," kata Gus Aab.

Sementara, tambah dia, yang digunakan di NU, meskipun hilal itu ada tapi belum bisa dilihat, maka belum cukup memenyhi syarat untuk kemudian mengawali Ramadhan atau mengawali Syawal untuk berhari raya.

"Jadi hisab itu digunakan untuk mengetahui posisi hilal. Karena kalau tidak menggunakan hisab, kita ndak tahu posisi hilal dan ketiggiannya berapa. Cuma untuk melakukan puasa atau kita berhari raya harus menunggu hilal itu bisa terlihat,"  tutupnya.