Ibrahim meletakkan lentera di samping tumpukan lain, yang belum berhasil dia jual selama berhari-hari. Dia berharap orang akan membelinya selama Ramadhan karena kecintaan pada tradisi lama. Ibrahim mengatakan, dia sangat senang keahlian membuat lentera telah kembali ke bengkel di wilayah tersebut.
"Para pengrajin telah menghidupkan kembali perdagangan mereka, setelah mengambil pinjaman yang dialokasikan kepada mereka oleh negara untuk mendanai proyek-proyek kecil, memungkinkan mereka membeli alat-alat modern yang dapat memotong besi, kayu, dan plastik, dan menggambar bentuk dengan laser," kata dia.
Sementara itu, seorang penjual lentera muda lainnya yang tidak ingin disebutkan namanya, mengungkapkan kekecewaannya. "Pasar tidak menggembirakan. Saya tidak optimistis pembeli dan penjual tiba-tiba akan membeli semua produk ini kapan saja, karena Ramadhan sudah dimulai," ucapnya.
"Kami berinvestasi pada waktu yang salah, meskipun kami juga menghadapi kenaikan drastis dalam biaya bahan baku, yang telah meningkat hampir 150 persen sejak tahun lalu, terutama pelat timah galvanis, plastik, pewarna, kabel dan alat-alat listrik," lanjutnya.
Dia menambahkan, ada ancaman ganda bagi pembuat lentera. Adalah utang, ditambah dengan perjuangan mereka untuk menjualnya karena kesulitan keuangan keluarga membayangi pasar lentera.
Pembuat lentera berharap dapat menjual lentera Ramadhan yang tidak terjual sebagai lampu hias setelah bulan berakhir. Hal ini untuk menghindari karatan dan untuk melunasi sebagian utang mereka. Selain itu, dengan menjualnya, mereka tidak perlu menanggung biaya tambahan untuk ruang penyimpanan di masa mendatang.