REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam kondisi normal, ketika tidak ada wabah penyakit berbahaya seperti Covid-19, saat mudik Lebaran kita sering membawa oleh-oleh untuk keluarga tercinta. Tak jarang makanan khas tradisional menjadi pilihan yang menarik, termasuk di antaranya adalah tapai dan brem.
Bagaimana sebenarnya hukum mengonsumsi tapai, baik tapai beras, tapai ketan hitam, maupun tapai singkong. Halalkah atau haramkah. Begitu pula dengan brem, halalkah atau haramkah?
Pengurus Bidang Dakwah MIUMI DIY Nanung Danar Dono menjelaskan Prof. Anton Apriantono pernah menyatakan kadar alkohol tapai pada fermentasi hari pertama 1,76 persen dan hari kedua 3,3 persen. Kadar alkohol pada hari ke tiga bisa lebih tinggi lagi.
Hasil analisis Yulianti (2014) menunjukkan kandungan alkohol tapai pada fermentasi hari keenam mencapai 6,90 persen (tapai singkong), 8,94 persen (tapai ketan hitam), dan bahkan 11,00 persen (tapai beras). Ini menarik karena ulama mengharamkan minuman keras dari kelompok bir yang kadar alkoholnya hanya tiga sampai lima persen.
Karena kadar alkoholnya melebihi bir, apakah kemudian tapai haram dimakan? Hukum halal-haram makanan ternyata tidak dikaitkan dengan keberadaan senyawa alkoholnya, namun keberadaan sifat atau efek khamr alias efek.
"Karena sesungguhnya tidak pernah ada ayat Alquran yang menyatakan alkohol itu haram. Bahkan, istilah alkohol di masa Nabi SAW belum dikenal. Dalil yang ada adalah dalil tentang pengharaman khamr. Oleh karena tidak ada dalil pengharaman alkohol, maka tidak tepat jika memfatwakan halal-haram dikaitkan dengan keberadaan alkoholnya," ujar dia dalam siaran pers yang diterima Republika, (29/4/2022).
Jika senyawa alkohol haram, maka akan ada banyak buah-buahan yang haram. Padahal para ulama sepakat dengan kehalalan buah-buahan. Contohnya, durian, sirsak, nangka, cempedak masak bisa mengandung alkohol di atas tiga persen. Richa Malhotra (BBC, 2017) pernah menyebutkan bahwa buah yang sangat masak dan jatuh dari pohon bisa mengandung ethanol atau ethyl alcohol 4,5 persen.