REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Tradisi Lebaran semakin berwajah "perayaan" daripada "ibadah sosial". Hal tersebut terjadi karena masifnya campur tangan kaum pemodal untuk mendulang keuntungan
"Dalam momentum Lebaran, nilai belanja pada semua kelompok masyarakat meningkat tajam. Bagi pelaku bisnis, itu tentunya menjadi momentum mendulang keuntungan," kata pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Ahmad Ma'ruf, pada dialog "Konsumerisme Lebaran" di Yogyakarta, Rabu.
Para pelaku bisnis memanfaatkan momentum yang secara sosial masyarakat menganggap wajar apabila mengeluarkan "extra cost" dalam tradisi tersebut. Semua proses disadari meskipun sering juga terjadi keterpaksaan karena ada pengkondisian oleh lingkungan sosial.
"Peningkatan mobilitas manusia, barang, dan jasa membuat kegiatan ekonomi pada semua daerah meningkat tajam,'' katanya. ''Sehingga, Lebaran tahun ini diperkirakan akan terjadi peningkatan perputaran uang lebih dari Rp 83 triliun secara nasional. Hal itu yang menjadikan kaum pemodal sebenarnya lebih berpesta daripada rakyat pada umumnya."
Ia mengatakan kaum pemodal mendapat rezeki berlimpah dari eforia konsumsi yang semakin meningkat seiring "provokasi" iklan produk maupun promosi pusat-pusat belanja di berbagai media massa maupun media promosi. Selama Ramadhan dan Lebaran, menurut dia, pengeluaran rumah tangga kelompok miskin rata-rata meningkat 45 persen. Sehingga, pengeluaran dalam sebulan ini sekitar Rp 1,4 juta.