REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA – Penetapan 1 Syawal 1432 Hijriah yang berbeda di Indonesia mempunyai ekses negatif luas bagi umat Islam. Selain mengganggu ukhuwah umat, juga menimbulkan kebingungan luar biasa di tingkat akar rumput. Sebab mereka tidak tahu lagi harus percaya kepada ulama mana yang wajib dipercayainya.
Menurut Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabayam Daniel M Rosyid, akar perbedaan Hari Raya Idul Fitri disebabkan ormas Islam menjadikan pandangan ilmuwan Sir Isaac Newton sebagai pijakan hisab maupun rukyat. Karena memegang kepercayaan Newton, oleh ormas Islam waktu adalah besaran fisika empirik mutlak yang mengalir ke masa depan. "Pandangan ini mengandung unsur syirik," kata Daniel, Selasa (30/8).
Harusnya, saran dia, ormas Islam maupun pemerintah memilih pandangan ilmuwan Gottfried Wilhelm Leibniz, yang memahami waktu sebagai besaran relatif. Sehingga cara memandang waktu dengan mengurutkan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Daniel menilai, definisi waktu menurut Leibniz lebih mendekati penjelasan dalam Alquran.
Dalam kerangka Leibniz, lanjut Daniel, 1 Syawal adalah peristiwa saat sekelompok manusia memutuskan mengakhiri puasa Ramadhan (peristiwa yang mendahului) dengan berbuka. "Hemat saya lebih baik penghitungan waktu mengikuti teori Leibniz daripada Newton," kata mantan ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur tersebut.
Daniel menyatakan, mekanisme terbaik penetapan 1 Syawal sebagai peristiwa publik adalah, setelah memerhatikan hisab dan rukyat, dilanjutkan dengan musyawarah yang elaboratif dan terpercaya untuk mencapai mufakat. Selanjutnya peserta musyawarah memberi bobot legal dari keputusan musyawarah tersebut agar mengikat semua pihak.
"Karena itu, peserta musyawarah itu harus terdiri orang yang memiliki latar belakang agama dan ilmuwan yang mumpuni. Antara lain astronom, matematikawan, serta ahli hadits dan Alquran yang rendah hati dan memenangkan ukhuwah," ujarnya.