Meski sedemikian dalam makna mudik ini—mencegah lebih baik daripada mengobati. Menghindari kemudharatan lebih baik dan maslahat daripada memaksakan sesuatu yang mendatangkan kemudharatan.
Karenanya, larangan mudik diberlakukan—sebagai salah satu ikhtiar agar lonjakan kasus Covid-19 dapat ditekan. Tentu, kesadaran dan penerimaan masyarakat atas keputusan ini, amat dibutuhkan. Covid adalah ujian kesabaran kita bersama.
Fenomena mudik di masa lebaran/ Idul fitri menjadi sesuatu yang tentu ditunggu-tunggu oleh mereka yang hidup di perantauan, jauh dari orangtua dan keluarga. Dilihat dari segi kebahasaan, ‘Id berasal dari dua kata; id [arab: عيد] dan al-fitri [arab: الفطر].
Id secara bahasa berasal dari kata ‘aada – ya’uudu [arab: عاد – يعود], yang artinya kembali. Hari raya disebut ‘id karena hari raya ‘kembali’ terjadi secara berulang-ulang, dimeriahkan setiap tahun, pada waktu yang sama. Ibn al- A’rabi mengatakan, Hari raya dinamakan ‘Id karena berulang setiap tahun dengan kegembiraan yang baru. (Lisan Al-Arab, 3/315).
Ada juga yang mengatakan, kata ‘Id merupakan turunan kata Al-‘Adah [arab: العادة], yang artinya kebiasaan. Karena masyarakat telah menjadikan kegiatan ini menyatu dengan kebiasaan dan adat mereka. (Tanwir Al-Ainain, hlm. 5).
Sementara itu, kata fitri berasal dari kata afthara – yufthiru [arab: أفطر – يفطر], yang artinya berbuka atau tidak lagi berpuasa. Disebut idul fitri, karena hari raya ini dimeriahkan bersamaan dengan keadaan kaum muslimin yang tidak lagi berpuasa ramadhan.
Pengertian ini sejalan dengan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama Islam akan senantiasa menang, selama masyarakat (Islam) menyegerakan berbuka. Karena orang Yahudi dan Nasrani mengakhirkan waktu berbuka.” (HR. Ahmad 9810, Abu Daud 2353, Ibn Hibban 3509).