REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu ibadah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saat masuk 10 hari terakhir bulan Ramadhan adalah itikaf. Itikaf adalah berdiam diri di masjid dengan segala kegiatan ibadah.
Ustadz Ahmad Zarkasih menjelaskan dalam bukunya Meraih Lailatul Qadar Haruskah I’tikaf?, kaitan itikaf dengan malam Qadar bukan kaitan syarat dengan yang disyarati. Itikaf bukan syarat untuk mendapat malam Qadar.
Akan tetapi, jika mampu, pahalanya sangat besar. Oleh karena itu, Nabi tidak pernah meninggalkannya selama 10 terakhir Ramadhan sepanjang hidupnya.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ
Aisyah r.a. bercerita “Nabi SAW (selalu) beritikaf di sepuluh terakhir bulan Ramadhan sampai Allah SWT mewafatkan beliau”, (HR Bukhari dan Muslim).
Meski begitu, ada beberapa orang yang tidak bisa beritikaf karena beberapa hal. Misal, mereka yang masih harus bekerja di malam hari dan wanita yang tidak bisa beritikaf karena sedang dalam keadaan tidak suci.
Akan tetapi, malam Qadar tidak dikhususkan bagi mereka yang beritikaf tapi bagi siapa pun yang saat malam itu menghidupkannya dengan ibadah. Jadi, semua orang mempunyai kesempatan mendapatkan malam Qadar.
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan Iman dan Ihtisab (mengharapkan pahala), niscaya Allah mengampuni dosa-dosanya yang telah lampau,” (HR Bukhari).