Apalagi dalam kenyataannya, banyak juga orang yang tidak berpuasa Ramadhan karena berbagai sebab yang tentunya membutuhkan pelayanan dari warung tersebut. Hanya saja, secara moral sosial hendaknya juga ada tanda-tanda penghormatan pada mereka yang sedang berpuasa, misalnya dengan memberikan kain penutup agar tidak terang-terangan menampakkan tidak berpuasa.
Jika yang punya warung atau karyawannya berpuasa, maka tidak perlu menutup-nutupi puasanya. Malah ada baiknya ditampakkan dengan amat bijak, agar bernilai dakwah bagi mereka yang tidak berpuasa bukan karena berhalangan syar'i (sesuai ajaran agama).
"Pemerintah" (eksekutif maupun legislatif) pusat ataupun daerah bisa saja membuat ketentuan terkait hal ini, tentunya setelah menelaah kondisi sosio-religius masyarakat setempat. Tetapi hal-hal yang terkait dengan keberagamaan masyarakat sebaiknya lebih menggunakan pendekatan edukatif (pendidikan) dan persuasif ("rayuan"), bukan normatif (aturan) apalagi represif ("pemberantasan").
Dengan demikian, amat tidak dibenarkan adanya "sweeping" atau razia dari organisasi tertentu (apa pun nama dan atas namanya) terhadap para penjual makanan/minuman di siang Ramadhan, yang dilakukan secara paksa agar mereka tidak berjualan. Mereka hanya melarang dan bahkan merampas barang dagangannya, tanpa memberi solusi.
Pertanyaannya, bagaimana dengan nafkah keluarga para penjual tersebut, dari mana mereka mendapatkannya, sedang sumber satu-satunya di-sweeping, dirazia, dan dilarang? Juga bagaimana dengan muslimah yang tidak berpuasa karena berhalangan secara syar'iy (dibenarkan syariat), atau musafir yang memang diperbolehkan tidak berpuasa, dan sebagainya.
Siapa yang memenuhi kebutuhan mereka, sedang mereka tidak menyiapkannya di rumah, atau sedang berada dalam perjalanan, padahal mereka amat membutuhkan makanan/minuman tersebut? Karena itu, sekali lagi diimbau, mari kita laksanakan ajaran Islam yang amat mulia ini dengan santun, rahmatan lil 'alamin, tanpa menimbulkan gangguan atau kesulitan pada siapa pun. Wallahu a'lam.