REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arrazy Hasyim
Imam Abu Hamid al Ghazali di dalam Ihya Ulum al-Din pernah mengemukakan sebuah permasalahan, “Apakah ada puasa yang sah tetapi tidak bernilai itu?” Dalam hal ini, ia menjelaskan bahwa ungkapan sah adalah istilah yang digunakan ahli fiqih terhadap puasa seseorang yang memenuhi syarat dan rukunnya saja.
Namun, ulama--yang ia sebut sebagai ulama akhirat--tidak hanya berorientasi kepada penilaian sah semata. Mereka lebih berorientasi kepada kualitas puasa sehingga diterima di sisi Allah.
Berdasarkan tujuan tersebut, al Ghazali memberikan enam tips agar puasa dapat diterima di sisi Allah. Pertama, menjaga pandangan dari sesuatu yang diharamkan. Ia dikarenakan terdapat hadis Nabi SAW yang menyebutkan bahwa pandangan terhadap sesuatu yang haram adalah bagian dari ‘panah-panah’ syetan. (HR. al Hakim dan al Thabrani).
Kedua, menjaga lisan dari ghibah, dusta, gosip, cacian, dan debat. Al-Ghazali menyarankan agar orang yang berpuasa lebih banyak berzikir dan membaca Alquran. Beberapa ulama dari kalangan Tabi‘in seperti Imam Sufyan al Tsauri dan Mujahid sepakat bahwa berbohong dan bergunjing dapat merusak nilai puasa. Nabi SAW pernah mengingatkan, “Apabila seseorang di antara kamu berpuasa, maka janganlah berkata keji dan bertengkar. Apabila ada orang yang mengajak bertengkar, maka katakanlah ‘Aku sedang berpuasa’.” (HR. al Bukhari dan Muslim).
Ketiga, menjaga pendengaran dari mendengarkan yang dibenci oleh Allah. Al Ghazali menegaskan bahwa bersikap diam ketika ada pergunjingan termasuk diharamkan. Ini dikarenakan Nabi SAW melarang melakukan pergunjingan dan juga mendengarkannya.
Keempat, menjaga anggota badan seperti tangan dan kaki dari aktivitas yang tidak disukai Allah, dan juga perut dari memakan sesuatu yang syubhat ketika berbuka. Al Ghazali mengingatkan bahwa puasa tidak bernilai jika menahan diri dari sesuatu yang halal, namun berbuka dengan sesuatu yang haram.
Kelima, menahan diri dari berbuka secara berlebihan, walaupun makanan yang dikonsumsi halal. Tradisi mengonsumsi beraneka ragam makanan khusus pada bulan Puasa, ternyata juga menjadi kebiasaan sebagian umat Islam di zaman al Ghazali. Ini membuat ia heran dengan mengatakan, “Spirit dari puasa adalah meminimalkan kekuatan hawa nafsu, sedangkan itu tidak akan diperoleh kecuali dengan cara meminimalkan makan”. Selain itu, makan dan minum yang berlebihan juga berakibat malas dan suka tidur, sehingga tidak mampu memakmurkan malam Ramadan.
Keenam, menghadirkan perasaan takut (khawf) tidak diterima puasanya, dan harap (raja’) agar Allah menerimanya. Ini dilakukan setelah berbuka puasa, bahkan setiap selesai beramal apa pun. Ini dikarenakan jika Allah menerima puasa seseorang maka ia akan menjadi golongan yang diridai. Adapun sebaliknya. Jika Allah menolaknya, maka orang tersebut akan menjadi golongan yang dimurkai.