Inilah Ramadhan yang sebentar lagi meninggalkan kita. Bulan nan mulia di mana terdapat satu malam yang istimewa yaitu lailatul qadar. Akan tetapi secara hakikat dan esensinya, Ramadhan datang setiap hari begitu pula datangnya malam lailatul qadar. Untuk mendapatkan lailatul qadar, manusia beriman melakukan iktikaf.
Iktikaf berasal dari kata dasar bahasa Arab ‘akafa yang berarti menetap, mengurung diri atau terhalangi. Orang yang sedang beriktikaf disebut juga muktakif. Secara hakikat iktikaf adalah proses menghalangi diri dari beraktivitas mulai dari aktifitas mendengar, melihat, mengucap, dan mengecap, sehingga aliran kesadaran yang mengalir melalui saluran indrawi terkumpul di pusat sujud dengan tujuan mendapatkan cahaya lailatul qadar yang lebih terang dari cahaya seribu bulan.
Untuk mendapatkan lailatul qadar, umat Islam diperintahkan untuk melakukan iktikaf. Dalam Alquran, iktikaf diisyaratkan oleh Allah: "Janganlah kalian mencampuri mereka (istri), sedang kalian sedang iktikaf di masjid." (QS al-Baqarah [2]: 187)
Ayat tersebut menjadi pembatas bahwa ikftikaf hanya disyariatkan dilakukan dalam masjid dan tidaklah dikatakan iktikaf menurut syariat jika dilakukan di balai, surau, mushalla, dan lainnya.
Malam lailatul qadar selalu mengajak manusia menembus batas . Malam yang lebih baik dari seribu bulan pun selalu punya cerita ihwal Tuhan dan terlalu sayang bila terlewatkan. Malam lailatul qadar mengungkapkan misteri, tentang Tuhan yang bersembunyi di balik segala yang terang.
Dengan ibadah di malam yang penuh keberkahan sepanjang Ramadan, mudah-mudahan memunculkan kesadaran tentang tujuan hadir di bumi dan mampu menyadari Ilahi Rabbi hingga tahu arah untuk kembali. Pantas kemudian Tuhan menjadikan malam sebagai pakaian (QS an-Nabaa’ [78]:10), dipakai untuk menemui-Nya di tempat yang gelap di balik gemerlap cahaya. Tuhan tidak menjadikan malam sekadar untuk tidur, tetapi juga yang paling mendasar adalah menidurkan ego untuk kemudian membangkitkan kebugaran jiwa dan ruh.
Di pengujung Ramadhan semua orang rindu pulang. Senang, riang, nyaman, itulah tanda-tanda manusia sudah pulang. Namun melalui praktik puasa yang mendalam, manusia sedang dibawa pulang ke rumah kesejatian diri, keotentikan diri. Sebuah rumah di mana semua tamu kehidupan (dipuji-dicaci maki, sehat-sakit, sukses-gagal) diterima, dipeluk, dan digenggam erat penuh kemesraan. Dalam kesadaran puasa yang sudah melangkah semakin dekat kepada kesejatian diri, yang tersisa hanya kerinduan untuk selalu berbagi dan memberi.
Salah satu pawai takbiran untuk merayakan malam Idul Fitri (ilustrasi).
Karenanya buah manusia-manusia yang berpuasa adalah takwa, hanya dengan takwa manusia bertemu keteduhan, kesejukkan dan kedamaian. Kedamaian membukakan pintu pencerahan dan kesadaran akan jati diri yang sejati.
Dan pencerahan dapat membuat tenang dalam setiap keadaan, dan lembut dalam setiap tindakan. Dan kegelapan kehidupan manusia hanya bisa lenyap ditelan cahaya. Dan manusia di bulan puasa nan mulia ini mendekati cahaya dengan ketenangan dan keikhlasan paripurna.
Ungkapan luar dari ketenangan dan keikhlasan adalah kelembutan. Sifat dasar manusia yang telah diterangi cahaya Tuhan yang lebih baik dari seribu bulan adalah kerinduan untuk lembut berbagi kasih sayang.
Idenya sederhana, semua dualitas (kebahagiaan-kesedihan, kemarahan-ketenangan, sehat-sakit) sifat alaminya muncul lenyap, kemudian tetap mempertahankan atau menggenggam agar yang menyenangkan dalam genggaman-padahal putaran waktunya harus berlalu, itulah awal penderitaan.
Menendang yang menjengkelkan agar segera pergi, kendati saat itu putaran kehidupannya harus digoda kejengkelan, itu juga penderitaan. Dan kesembuhan (pencerahan) mulai terbuka pintunya, ketika manusia bisa melepaskan baik yang menyenangkan maupun yang menjengkelkan pada saatnya, ini yang disebut dalam Alquran QS al-Balad 90:13, membebaskan diri dari perbudakan dualitas kehidupan, sehingga tampil wajah yang penuh kesejatian.
Akhir Ramadhan, Juni 2019
*Ambassador of peace Kaiciid Centre King Abdullah bin Abdul Aziz Centre for Interreligious and Intercultural Dialogue. Yusuf juga praktisi tasawuf, dosen tamu di berbagai universitas sekaligus Direktur PhiloSufi Centre Surabaya.