REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Indikator kenikmatan sosial yang kedua, ungkap Ustaz Hasan Basri Tanjung, senang melayani keluarga. Setelah dewasa, seorang anak mulai membangun rumah tangga.
Mendapatkan pasangan hidup yang membuat hati selalu tertarik ketika menatapnya (sakinah), tentram di saat bersamanya (mawaddah), damai dalam pelukannya (rahmah) dan jika ditinggalkan rindu tak tahan rasanya.
Lalu lahirlah anak-anak yang menggembirakan, penyejuk hati dan pelipur lara, saleh dan salehah, beradab dan membanggakan.
''Beruntunglah seseorang yang ketika menikah masih didampingi orang tua. Saya tidak sempat juga merasakan, karena seminggu sesudah pernikahan, ibunda dipanggil Ilahi dan tak bisa menyolatkan dan menguburkan jenazahnya,'' ungkap Ustaz Tanjung pilu.
Indikator ketiga, kata Ustaz Tanjung, senang menemui ulama. Sepatutnya, setelah berbakti kepada kedua orang tua yang melahirkan, kita memuliakan orang tua yang mengajarkan, yakni para guru atau ulama.
''Al-‘ulamaa-u waratsah al-an biyaa, ulama itu pewaris para Nabi,'' ungkap Ustaz Tanjung mengutip hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan At-Turmudzi.
Para ulama, kata Ustaz Tanjung, membawa ilmu (cahaya) yang menerangi kegelapan jalan hidup manusia. Beruntung orang yang senang berkumpul dengan ulama, memuliakan, mendengar nasehatnya dan menghadiri majlis ilmu (dzikir), apalagi di Bulan Ramadhan.
''Para malaikat pun turun ke bumi menaungi dan mendoakan mereka yang duduk di majlis ilmu. Dan orang yang senang bergaul dengan alim ulama, tidak akan tersesat jalan hidupnya. Mereka akan dimuliakan sebagaimana Allah SWT mengangkat derajat ulama yang istiqomah,'' jelasnya.
Sedangkan indikator kenikmatan sosial yang keempat, kata Ustaz Tanjung, senang berbagi kepada kaum dhuafa. Ia menyebutkan, sedekah yang utama kepada orang tua, kaum kerabat, yatim dan miskin. ''Beruntunglah orang yang senang bersedakah tanpa mengharap balasan dan memberi yang disenanginya,'' ungkap Ustaz Tanjung.
''Tangannya selalu di atas seperti dipuji Nabi Muhammad SAW. Bulan Ramadhan tempat latihan sedekah (zakat) seperti ta’jil dan bingkisan lebaran. Kedermawanan itu harus tetap terjaga di saat anak yatim dan dhuafa masih kelaparan, diterpa kebodohan dan keterbelakangan, termasuk korban bencana yang kehilangan harapan,'' ungkap Ustaz Tanjung menambahkan.