REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Ketua Yayasan Dinamika Umat Kahuripan, Bogor, Dr Hasan Basri Tanjung MA mengungkapkan, sejatinya, semua ibadah dalam Islam pastilah mendatangkan kenikmatan.
Pada sepuluh hari pertama Ramadhan, Kita seringkali berorientasi pada kenikmatan material yang disebut Buya Hamka dengan ladzdzaat (kelezatan). Makan sahur yang enak dan hidangan berbuka beraneka ragam.
Memasuki sepuluh hari kedua, ungkap dai kelahiran Sumatera Utara ini, sepatutnya Kita beranjak dari kenikmatan material menuju kenikmatan sosial.
Sebuah kenikmatan yang tidak bisa dinilai dengan materi. Bahkan, kita rela kehilangan materi untuk meraihnya, yakni nikmat dalam kebersamaan dan bermakna di tengah yang membutuhkan.
''Inilah yang disebut as-sa’adah (kebahagiaan). Tidak semua orang bisa meraihnya, walaupun ia mendapat kenikmatan material,'' ungkap Dr Hasan Basri Tanjung MA dalam shalat Idul Fitri di Masjid Riyadlush Shalihin Parung, Bogor, Rabu (6/7).
Dosen Universitas Djuanda (Unida) Bogor ini mengungkap, ada empat indikator kenikmatan sosial. Pertama, senang berbakti kepada orang tua (birrul waalidaiin).
''Beruntunglah anak yang sempat berbakti, hingga orang tuanya lanjut usia. Bahkan, ketika mereka menghembuskan nafas terakhir, ada di pangkuannya. Lelah bekerja demi membahagiakan mereka. Namun, keletihan itu lenyap ketika dibelai ayah dan bunda penuh kelembutan,'' ungkap Ustaz Tanjung.
Menurut Ustaz Tanjung, hasil jerih payah diberikan, tanpa sedikit pun memperhitungan apalagi merasa terbebankan. Karena, sedekah yang paling utama adalah kepada orang tua.
''Keridhaan mereka adalah jalan ridha Ilahi. Sikap, kata dan tindakan senantiasa memuliakan diiringi doa penuh ketulusan,'' ungkapnya menjelaskan.
Bahkan, sebut penulis buku Karunia tak Ternilai ini, mudik lebaran dengan berbagai kesulitan pun dilakukan. ''Saya termasuk anak yang tak sempat berbakti, karena ayahanda telah tiada di waktu kecil dan ibunda wafat di saat saya menapaki hidup di perantauan,'' Ustaz Tanjung haru.