Setelah dua tahun rutin menjalankan amanah dakwah di Lapas Poso, Muhtadi mendapat amanah dakwah ke tempat baru, yakni Sangatta Kutai Timur. Takdir memang tidak bisa ditolak. Di kota ini, lagi-lagi dia ditugaskan berdakwah di Lapas, walaupun tempatnya jauh lebih kecil.
Di Lapas Sangatta Muhtadi melihat ada perilaku yang berbeda. “Di Sangatta tidak menganggap kita kayak ulama. Hanya saja mereka lebih disiplin. Jadi, sebelum saya datang mengisi jadwal dakwah, penghuni lapas sudah siap lebih awal. Wah, di sini kok beda ya,” tuturnya.
Namun demikian, berdakwah di Lapas tidak sama dengan di masyarakat umum. Tantangannya adalah dai harus bisa mengajak mad'u untuk menyadari kesalahan diri sendiri lalu mendorong mereka untuk mau benar-benar berubah. Bukan hal yang mudah. Kata dia, dai harus peka dalam penggunaan bahasa. Salah-salah mereka malah putus asa mengingat masa lalunya.
Penghuni Lapas memang orang-orang yang masa lalunya diliputi kegelapan. Namun demikian, ketika dalam Lapas, sebagian besarnya sadar dan sangat merindukan pencerahan. Selama empat tahun berdakwah di Lapas, Muhtadi mengamati bahwa warga binaan adalah orang-orang yang sangat membutuhkan pencerahan.
"Jadi mereka berbuat kesalahan bukan karena mereka sadar dan mengetahui. Tetapi karena mereka memang tidak mendapat pencerahan,” ungkapnya.
Sekarang, terhitung sejak 2011 Muhtadi ditugaskan kembali ke Tarakan Kalimantan Utara. Di sana, bersama BMH Muhtadi mendapat tugas berdakwah dari masjid ke masjid di desa terpencil, sebagian tidak ada penerangan, hanya ada jalan setapak. Tetapi, antusias warga dalam menyambut dakwah amat menggembirakan.
Muhtadi berharap, dakwah di tengah-tengah masyarakat harus digalakkan. “Kalau masyarakat tercerahkan, insya Allah tidak perlu ada lagi orang yang menyadari pentingnya beramal baik ketika sudah di Lapas. Ini tantangan dakwah yang paling utama, bagaimana masyarakat tercerahkan,” kata dia.