REPUBLIKA.CO.ID, BAMAKO - Cukup berat tantangan yang dihadapi Muslim Mali jelang Ramadhan kali ini. Di satu sisi, mereka masih didera perang saudara. Disisi lain, akibat perang itu mulai melahirkan dampak negatif. "Kami merasa Ramadhan kali ini begitu aneh," komentar Al Hadj Bany Maiga, anggota komite pengelolaan masjid, seperti dikutip AFP, Jumat (20/7).
Ia menjelaskan, perang saudara melahirkan kekhawatirkan kalangan umat Islam terkait ulah kelompok garis keras. Mereka, kata dia, bakal menerapkan syariat Islam tanpa pandang bulu. Kondisi kian runyam dengan adanya pemadaman listrik, ancaman kekurangan air dan harga pangan melambung. "Cuaca juga tidak bersahabat dengan suhu sekitar 40 C (101 F)," kata dia.
Seorang guru dari Sahel, yang enggan disebutkan namanya, lebih mengkhawatirkan ulah kelompok garis keras seperti Ansar Dine (Pembela Iman). Mereka dikhawatirkan akan memanfaatkan bulan suci Ramadhan untuk memperketat aturan seperti melarang merokok atau menonton televisi. "Inilah masalahnya," kata dia.
Alpha Maiga, anggota organisasi pemuda Gao, mengatakan tidak akan patuh begitu saja dengan aturan yang dibuat Ansar Dine. "Tidak ada yang dapat memaksa kami untuk melakukan apapun. Kami akan pertahankan ajaran Islam yang diberikan para orang tua," kata dia.
Sementara itu, para imam dan ulama telah mengadakan pertemuan di Gao, guna meyakinkan umat Islam agar tetap tenang dan bersatu. "Kami mengimbau agar imam tidak memberikan khutbah provokatif. Kami juga memastikan tidak ada orang asing yang akan menyampaikan khutbah," kata salah seorang pemimpin Muslim.
Anggota Gerakkan Keesaan dan Jihad (MUJAO), Abdul Hakim mengatakan pihaknya memastikan umat Islam menjalankan Ramadhan seperti biasa. Pihaknya juga menyiapkan pasokan gula dan makananan untuk diberikan kepada setiap Masjid.
Maiga Hamadi, warga lokal, mengatakan berpuasa di Mali, membutuhkan banyak uang. Celakanya, saat ini tidak ada uang. "Tidak ada uang, tapi anda harus mengkonsumsi makanan seimbang sebelum berpuasa," kata dia.