Mengapa Perlu Sidang Isbat untuk Tentukan Awal Ramadhan?

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Qommarria Rostanti

Ahad 10 Mar 2024 11:21 WIB

Pemantauan hilal. Hasil pemantauan hilal akan digunakan dalam sidang Isbat untuk menetapkan awal Ramadhan. Foto: Republika/Thoudy Badai Pemantauan hilal. Hasil pemantauan hilal akan digunakan dalam sidang Isbat untuk menetapkan awal Ramadhan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama akan menyelenggarakan sidang isbat pada Ahad (10/3/2024) malam. Sidang isbat tersebut dilakukan untuk menentukan kapan awal Ramadhan. Mengapa perlu sidang isbat untuk menetapkan awal Ramadhan?

Sejak dekade 1950-an (sebagian sumber menyebut tahun 1962) pertama kali diadakan sidang Isbat dalam rangka penetapan tanggal 1 Ramadhan dan Idul Fitri. Sidang Isbat diisi dengan paparan ulama atau ahli dan pendapat organisasi-organisasi Islam, sebelum pengambilan putusan tentang awal Ramadhan dan Idul Fitri yang diumumkan kepada masyarakat.

Baca Juga

Adapun Sidang Isbat awal Ramadhan diadakan setiap 29 Sya’ban, dengan didahului pemantauan hilal. Pengumuman Menteri Agama tentang 1 Ramadan dan Idul Fitri adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat beragama Islam di seluruh Tanah Air.

Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Urais-Binsyar) Ditjen Bimas Islam, Adib, menjelaskan sidang isbat penting dilakukan karena Indonesia bukan negara agama, bukan juga negara sekuler. Indonesia tidak bisa menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada orang per orang atau golongan.

Sidang isbat penting dilakukan karena ada banyak organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam di Indonesia yang juga memiliki metode dan standar masing-masing dalam penetapan awal bulan Hijriyah. Tidak jarang pandangan satu dengan lainnya berbeda, seiring dengan adanya perbedaan mazhab serta metode yang digunakan.

Sidang isbat menjadi forum, wadah, sekaligus mekanisme pengambilan keputusan. “Sidang isbat dibutuhkan sebagai forum bersama mengambil keputusan. Ini diperlukan sebagai bentuk kehadiran negara dalam memberikan acuan bagi umat Islam untuk mengawali puasa Ramadhan dan berlebaran," ujar Adib dikutip dari laman resmi Kementerian Agama pada Jumat (8/3/2024).

Dalam prosesnya, sidang isbat menjadi forum musyawarah para ulama, pakar astronomi, ahli ilmu falak dari berbagai ormas Islam, termasuk instansi terkait dalam menentukan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah. Sidang ini dihadiri juga Duta Besar Negara Sahabat, Ketua Komisi VIII DPR RI, Perwakilan Mahkamah Agung, Perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Perwakilan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Ada juga Perwakilan Badan Informasi Geospasial (BIG), Perwakilan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Perwakilan Bosscha Institut Teknologi Bandung (ITB), Perwakilan Planetarium Jakarta, Pakar Falak dari Ormas-ormas Islam, Anggota Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama, dan Pimpinan Organisasi Kemasyarakatan Islam dan Pondok Pesantren.

Hasil musyawarah dalam sidang isbat ditetapkan oleh Menteri Agama agar mendapatkan kekuatan hukum. "Jadi bukan pemerintah yang menentukan jatuhnya awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah. Pemerintah hanya menetapkan hasil musyawarah para pihak yang terlibat dalam sidang isbat,” kata Adib.

Dia mengatakan, isbat penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah, bukan hanya dilakukan oleh Indonesia saja. Negara-negara Arab juga melakukan isbat setelah mendapatkan laporan rukyat dari lembaga resmi pemerintah atau perseorangan yang sudah terverifikasi, dan dinyatakan sah oleh Majlis Hakim Tingginya. 

Bedanya, Indonesia menggunakan mekanisme musyawarah dengan seluruh peserta sidang isbat. “Inilah yang menjadi nilai lebih bahwa keputusan diambil bersama, nilai-nilai demokrasi sangat tampak dengan kehadiran seluruh ormas yang hadir pada saat sidang isbat,” kata Adib.