REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Astronomi dan Astrofisika pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (Lapan-BRIN), yang juga anggota Tim Unifikasi Kalender Hijriyah Kementerian Agama Prof Thomas Djamaluddin menjelaskan tentang cara Arab Saudi menentukan awal bulan Hijriyah, termasuk 1 Syawal 1444 H.
Thomas menyampaikan Arab Saudi mendasarkan pada rukyat dan terkadang tidak peduli dengan kriteria visibilitas hilal atau imkan rukyat. Karena itu, Saudi juga berbeda metode penetapan awal bulan Hijriyah dengan Muhammadiyah.
"Beda. Untuk penentuan waktu ibadah, Saudi dengan rukyat murni. Sedangkan Muhammadiyah dengan hisab murni dengan kriteria wujudul hilal," tuturnya.
Prof Thomas menjelaskan, rukyat murni didasarkan pada berhasil atau tidaknya hasil rukyat (pengamatan) hilal. Adapun kriteria Imkan Rukyat (visibilitas hilal) adalah kriteria hisab dengan memperhitungkan mungkin atau tidaknya untuk dirukyat.
"Hisab atau rukyat bukan soal akurasi, tetapi terkait keyakinan pilihan dalil fiqihnya. Baik hisab dan rukyat sama-sama bersifat ijtihadiyah, ada potensi kesalahan. Rukyat ada potensi salah lihat. Hisab ada potensi salah pilihan kriterianya," ucapnya.
Prof Thomas menambahkan, hitungan astronomi memang akurat, tetapi lain halnya untuk menentukan awal bulan. Sebab, penentuan awal bulan itu bergantung pada kriterianya, yakni wujudul hilal atau Imkan Rukyat.
"Saudi seperti halnya NU, meyakini hasil rukyat untuk penetapan waktu ibadah," kata dia.
Arab Saudi telah menetapkan 1 Syawal 1444 H atau Hari Raya Idul Fitri jatuh pada 21 April 2023. Penetapan ini sama dengan ketetapan Muhammadiyah yang memutuskan 1 Syawal 1444 H atau Hari Raya Idul Fitri jatuh pada 21 April 2023.