Berpuasa di Negeri Seribu Gereja

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Gita Amanda

Jumat 31 Mar 2023 07:38 WIB

Ilustrasi Berpuasa. Ramadhan di wilayah minoritas muslim tak begitu terasa dan seperti hari-hari biasa. Foto: Pixabay Ilustrasi Berpuasa. Ramadhan di wilayah minoritas muslim tak begitu terasa dan seperti hari-hari biasa.

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Ramadhan termasuk salah satu momen yang selalu ditunggu kedatangannya oleh umat Islam di seluruh dunia. Terlebih di negara mayoritas muslim seperti Indonesia.

Tradisi membangunkan sahur, berburu takjil hingga suara adzan naghrib yang saling bersahutan menjadi hal yang selalu ditunggu. Namun suasana itu tidak dapat dirasakan oleh alumnus Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Wildan Zarief karena sedang menempuh pendidikan magisternya di University of Adelaide, Australia.

Baca Juga

Wildan menceritakan suasana Ramadhan dan hari biasa di Adelaide tidak jauh berbeda. Hal tersebut karena ibu kota di negara bagian Australia selatan itu dikenal dengan sebutan Negeri Seribu Gereja. Hal ini berarti penduduknya mayoritas beragama Kristen.

“Karena teman-teman yang satu tempat tinggal nonmuslim semua, jadi saat sahur maupun berbuka saya biasanya sendirian,” ungkap Wildan.

Anak sulung dari dua bersaudara itu juga bercerita saat menunaikan ibadah sholat tarawih. Ia lebih memilih sendiri karena lokasi masjid yang jauh dari tempat tinggalnya. Kemudian juga transportasi umum yang tidak beroperasi saat larut malam.

Dia bersyukur puasa tahun ini sudah masuk musim gugur. Di Adelaide sendiri, puasa dimulai pada pukul 06.00 sampai dengan pukul 19.00. Oleh karena itu, lama puasanya tidak jauh berbeda dengan Indonesia sekitar 12-13 jam.

Hal ini beda lagi ceritanya jika puasanya di musim panas. Umat muslim di tempat tersebut harus menahan lapar dan dahaga selama 16 jam. "Dan waktu buka puasa sendiri di pukul 22.00,” kata Wildan dalam pesan resmi yang diterima Republika.

Meskipun puasa di musim gugur, kata pria asal Malang, ini tetap menguras tenaga. Hal itu tak lepas dari jadwalnya yang padat. Apalagi tahun ini adalah tahun pertamanya memulai perkuliahan.

Menurut dia, sepinya Ramadhan di tempat tersebut sedikit terobati dengan adanya komunitas Muslim di kampus. Ada banyak kegiatan menarik seperti bagi-bagi takjil maupun kajian sebelum shalat.

Cerita unik juga dialami Wildan selama puasa di sana. Karena banyak teman-teman kuliahnya yang tidak tahu tentang ibadah puasa, sering kali dirinya ditawari makanan ataupun jajanan. Bahkan tak jarang, di sana mahasiswa mengadakan pesta dan barbeque di siang hari sehingga mengundang nafsu makannya.

"Kalau dapat tawaran makanan, biasanya saya tolak dan mengatakan kalau saya sedang puasa. Kebanyakan kaget dan malah balik bertanya balik mengenai puasa dan Islam. Jadi sebagai sarana dakwah tipis-tipis juga," ucapnya.

Dia tidak menampik Ramadhan tahun ini memberikan kesedihan tersendiri bagi dirinya. Sebab, kenikmatan berpuasa bersama keluarga tidak dapat ia rasakan. Namun makna Ramadhan paling utama adalah bagaimana bsia menjalin hubungan dengan Allah SWT dan juga manusia. Selain itu sebagai sebagai sarana memperbaiki diri untuk menjadi manusia yang lebih baik.