REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ragam pandangan mengenai jumlah sholat tarawih tidak boleh dijadikan pemicu perdebatan kusir. Sebaliknya, keragaman tersebut harus dimaknai sebagai bagian kekayaan khazanah Islam dan juga wadah bagi umat Islam agar senantiasa haus akan ilmu dan menggalinya.
Namun demikian, umat Islam juga harus mencermati sumber rujukan yang menisbatkan Nabi. Hadits palsu (maudhu) dalam Islam tidak bisa dijadikan landasan hukum. Statusnya tertolak sebab menisbatkan Nabi Muhammad SAW dalam kepalsuan.
KH Ali Mustafa Yaqub dalam buku Cara Cermat Mengamalkan Hadis menyampaikan, hadits palsu tidak bisa dijadikan dalil, sehingga umat Islam harus cermat dalam memahami hadis secara baik. Salah satu contoh hadits palsu yang lumrah dikenal adalah hadits-hadits tentang bulan Ramadhan dan sholat tarawih.
Contohnya adalah tentang sholat tarawih. Di mana umat Islam di Indonesia secara umum mengenal tata cara pelaksanaan tarawih dalam dua versi, yakni sholat tarawih sebanyak 23 rakaat (20 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir) dan sholat tarawih sebanyak delapan rakaat.
Redaksinya sebagai berikut, “An Ibni Abbas radhiyallahu anhuma kaana an-nabiy SAW yushalli fi Ramadhana isyrina rak’atan wal-witra,”.
Yang artinya, “Dari Ibnu Abbas, katanya, ‘Nabi SAW sholat pada bulan Ramadhan 23 rakaat dan witir,”. Hadis ini diriwayatkan oleh At-Thabrani, Ibnu Abi Syaibah, dan Al-Khatib Al-Baghdadi. Imam Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits riwayat Ibnu Abbas ini lemah sekali. Kelemahan hadis itu dikarenakan di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Abu Syaibah Ibrahim bin Usman.
Imam Bukhari mengatakan bahwa para ulama tidak mau berkomentar tentang Abu Syaibah, sedangkan At-Tirmidzi menyatakan bahwa Abu Syaibah munkar hadisnya. Dan Imam An-Nasa-I menjelaskan bahwa Abu Syaibah adalah matruk hadisnya. Bahkan menurut Syu’bah, Abu Syaibah adalah seorang pendusta atau pembohong. Karenanya, hadis riwayat Ibnu Abbas itu palsu atau minimal hadis matruk (semi palsu) yang tertolak.
Namun bagaimana hukumnya melakasanakan sholat tarawih 23 rakaat?
Menurut Kiai Ali, melaksanakan sholat tarawih 23 rakaat bukanlah sebuah kesalahan. Kesalahannya adalah jika menjadikan hadits palsu itu sebagai dalilnya atau sumber rujukannya. Sholat tarawih 23 rakaat itu adalah benar dengan menggunakan tiga dalil.
Pertama, rakaat sholat tawarih tidak dibatasi jumlahnya, maka 23 rakaat itu diperbolehkan. Hal ini sebagaimana hadis Nabi, Rasulullah SAW bersabda, “Man qaama Ramadhan imanan wahtisaban ghufira lahu maa taqaddama min dzanbih,”.
Yang artinya, “Barang siapa menjalankan qiyam Ramadhan karena beriman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa-dosanya (yang kecil) yang telah lalu akan diampuni,”.
Kedua, hadis mauquf riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim. Di mana Sayyidina Umar bin Khattab memerintahkan Ubay bin Ka’ab untuk menjadi imam shalat tawarih di masjid, dan ternyata Ubay dan para sahabat lain sholat tarawih 20 rakaat. Dan tidak ada satu pun sahabat yang memprotes hal itu, padahal waktu itu Sayyidah Aisyah, Sayyidina Umar, Sayyidina Usman, Sayyidina Ali, Abu Hurairah, hingga sahabat senior lain semuanya masih hidup.
Ketiga, ijma sahabat. Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Abdul Al-Bar, dan Ibnu Qudamah Al-Maqdisi shalat tarawih 20 rakaat adalah ijma (konsesus). Bahkan Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni menurutkan bahwa apa yang disepakati oleh para sahabat itu lebih utama dan lebih layak untuk diikuti.