REPUBLIKA.CO.ID, Allah mewajibkan kaum muslimin puasa Ramadhan, oleh karena memutuskan jiwa dari syahwatnya dan menghalangi nya dari apa yang biasa dilakukan termasuk perkara yang paling sulit.
Kewajiban puasa pun diundur sampai tahun kedua Hijriyah, setelah hati kaum mukminin kokoh dalam bertauhid dan dalam mengagungkan syiar-syiar Allah, maka Allah membimbing mereka untuk melakukan puasa dengan bertahap.
Pada awalnya mereka diberi pilihan untuk berbuka atau puasa beserta diberi spirit untuk puasa, karena puasa masih terasa berat bagi para shahabat Radhiallahu 'anhum. Barangsiapa yang ingin berbuka kemudian membayar fidyah dibolehkan, Allah berfirman yang artinya :
"...Berpuasa, wajib membayar fidyah, memberikan makanan seseorang miskin, maka barangsiapa yang mendermakan lebih dengan sukanya sendiri, maka itu lebih baik baginya; bahwa puasa itu lebih baik baginya, jika kamu mengetahui." (Surat Al- Baqaroh : 184)
Kemudian turunlah kelanjutan ayat tersebut yang menghapus hukum diatas, hal ini dikabarkan oleh dua orang shahabat yang mulia : Abdullah bin Umar dan Salamah bin Al-Akwa' –Radhiallahu 'anhum- keduanya berkata :
"Kemudian dihapus oleh ayat : "Bulan Ramadhan itulah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-qur'an yang menjadi petunjuk bagi manusia dan menjadi keterangan-keterangan dari petunjuk itu dan yang membedakan antara yang hak dan yang bathil, maka barang siapa di antara kamu melihat bulan itu, hendaklah ia berpuasa dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka (wajib ia berpuasa) beberapa hari (yang ketinggalan itu) di hari-hari yang lain, Allah menghendaki kelapangan bagimu dan Allah tidaklah menghendaki kesulitan bagimu. Dan hendaklah kamu menyempurnakan bilangannya dan supaya kamu mengagungkan Allah terhadap sesuatu yang Allah telah menunjukan kamu (kepada-Nya) dan mudah-mudahan kamu mensyukuriNya." (Surat Al- Baqoroh: 185)