REPUBLIKA.CO.ID, Ramadan kali ini, saya teringat pada pengalaman di Yaman dulu. Sebelum pindah studi ke Universitas Yemenia di ibukota Sana'a (Yaman Utara), saya pernah belajar di Universitas Ahgaff di kota Tarim provinsi Hadhramaut (Yaman Selatan), selama dua tahun.
Jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia. Khusus di bulan ini, semua aktivitas perdagangan di kota Tarim dan sekitarnya dihentikan setiap dini hari hingga ashar. Kegiatan ekonomi mulai menggeliat kembali setelah ashar sampai tengah malam.
Tak mengherankan jika setiap pagi sampai siang Ramadan, suasana di seluruh kota di negeri leluhur Walisanga ini nampak seperti kota mati, karena hampir tak ada orang yang keluar rumah. Sebab semua aktivitas masyarakat setempat berlangsung pada sore dan malam hari.
Secara umum, mahasiswa di sana biasanya menikmati libur Ramadan dengan tadarus sambil melancarkan hafalan Quran. Ada juga yang memainkan game komputer, menghabiskan beberapa bacaan ringan berbahasa Arab seperti novel, majalah dan komik.
Bagi sebagian mahasiswa Indonesia, biasanya mereka baru mulai keluar asrama menjelang ashar. Mereka menuju ke beberapa masjid untuk mengikuti rohah (semacam pengajian rutin Ramadan), sekaligus memperoleh pembagian hidangan ta'jil (buka awal) berupa zanjabil (wedang jahe), kurma, syurbah (mirip bubur ayam yang dicampur dengan potongan daging kambing) dan sambusa (mirip martabak mini berbentuk segitiga).
Selama ini, mayoritas mahasiswa kita lebih memilih mendatangi masjid jami’ Tarim untuk menyimak rohah yang disampaikan oleh Habib Salim Syathiri, pengasuh pesantren Rubath Tarim, yang juga sering melakukan kunjungan dakwah di Asia Tenggara.
Di samping tradisi kegiatan ekonomi yang unik dan menu ta'jil yang khas tersebut, ada budaya khas Ramadan yang hanya ditemukan di kota Tarim, yaitu tarwih bergilir. Salat tarwih di kota yang luasnya lebih kecil dibanding kecamatan di Jawa ini didirikan sampai tujuh kali dalam semalam, dengan cara bergantian dari masjid satu ke masjid lainnya.
Bagi mereka yang ingin meraih keutamaan qiyamulail, bisa melaksanakan salat tarwih sampai berkali-kali dengan berpindah-pindah masjid. Sementara bagi yang merasa cukup tarwih satu kali, seperti saya, bebas memilih jadwal tarwih sesuai yang diinginkan.
Bagi mahasiswa yang merasa cukup dengan satu kali tarwih, mereka lebih memilih melakukan tarwih di pesantren Darul Musthofa, yang dalam sebulan penuh selalu mengkhatamkan Quran dua kali. Setelah tarwih yang diimami langsung oleh Habib Umar bin Hafidz ini, pihak Darul Musthofa menyediakan jamuan makan malam gratis, dengan menu yang istimewa, berupa daging mandhi.
Kiranya, berdasarkan keunikan Ramadan tersebut, pantaslah jika kota Tarim pada tahun 2010 pernah dinobatkan sebagai ibukota kebudayaan Islam sedunia.
H.A. Syukron Amin, Lc (Mahasiswa Yemenia University)
Mantan Ketum PPI Yaman.
Rubrik ini bekerja sama dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia