REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir mengatakan, era 4.0 salah satunya memproduksi disrupsi dengan dua dimensi. Ada proses perubahan bersifat netral, ada dampak sosial ekonomi politik alam pikiran dan keruhanian masyarakat dunia.
Haedar menilai, aspek religiusitas bukan aspek yang mudah, verbal dan linier. Jadi, Muhammadiyah ingin hadirkan religiusitas yang mencerahkan dalam kehidupan saat ini ketika muncul konsep spiritualitas yang kerap diidentikan religiusitas.
Ia mengingatkan, pandangan ekstrim akan menerima disrupsi sebagai revolusi yang menjungkirbalikkan tantangan tanpa kritik. Pandangan ekstrim alin, serba anti yang cuma lahirkan dua kecenderungan, melarikan diri dan larut dalam keadaan.
Maka itu, Haedar berharap, Pengajian Ramadan ini lewat berbagai pembahasan yang dikupas ahli-ahli selaku narasumber, akan mempertajam dan memperkaya khazanah religiusitas. Mencerahkan di tengah perubahan dan era disrupsi yang terjadi.
Muhammadiyah, lanjut Haedar, dalam menawarkan religiusitas yang mencerahkan di era disrupsi kembali ke Manhaj Tarjih. Memahami menyeluruh akidah, ibadah, ahlak dan muamalah agar pendekatan bayani, burhani dan irfani bisa senantiasa masuk.
Menutup sambutan iftitah, Haedar membacakan lagi Risalah Pencerahan dari Tanwir Muhammadiyah 2019 di Bengkulu yang berisikan delapan butir penting. Ia meyakini, jika diimplementasikan Muhammadiyah bisa mengatasi dan mencegah dampak disrupsi.
"Dengan intelektualitas yang kita bangun, kita harus menjadi yang paling siap di garda depan untuk menjadi pelopor era perubahan disrupsi ini, adaptif terhadap perkembangan yang ada dan kultur kita harus menjadi kultur pelaku," kata Haedar.