REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagian umat Islam menghidupkan malam terakhir Ramadhan dengan melakukan itikaf. Namun bagaimana tinjauannya secara medis?
"Sesekali begadang dan tidak menjadi pola hidup, sesekali begadang untuk hal-hal yang bermanfaat itu boleh. Kenapa? Karena terkadang waktu malam waktu yang paling bagus untuk mengerjakan sesuatu. Waktunya masih panjang, malam itu panjang," kata Spesialis Patologi Klinik dari Univeristas Gajah Mada, Ustadz Raehanul Bahraen dalam laman Youtube miliknya.
Dia melanjutkan, keadaan pada malam hari itu sunyi, sepi, tidak ada banyak gangguan, dan manusia tidak keluar kemana pun. Untuk itu mereka bisa fokus terhadap apa yang dia kerjakan.
Terdapat pepatah Arab yang mengatakan,من أراد المعا لى سهر اليا لى "Barangsiapa yang menginginkan ma'al (sesuatu hal yang tinggi) dia begadang di malam hari".
Ustadz Raehanul menjelaskan, sebagian para ulama ada yang begadang malamnya untuk menghidupkan malam. Sebagai contoh, Imam Syafi'i pernah menghidupkan malam untuk belajar.
Para ulama begadang untuk belajar. Sebagian lagi ada yang mengerjakan laporan malam-malam, fokus, tidak ada yang mengganggu dan sebagainya.
"Sehingga boleh begadang sesekali untuk hal yang bermanfaat. Dan termasuk yang bermanfaat 10 malam terakhir Ramadhan. Kalau sekali-sekali seperti ini tidak apa-apa. Yang bahaya menjadi pola hidup terus-menerus seperti itu," kata ustadz yang juga alumni ma'had Al-Ilmi Yogyakarta.
"Jadi secara medis itu nggak apa-apa kita menghidupkan 10 malam terakhir Ramadhan, Insya Allah nggak apa-apa. Dan yang bahaya itu tidak tidur sama sekali. Tapi kalau menghidupkan malam Ramadhan kan kita balas, kita tidur siangnya. Menghidupkan malam terakhir Ramadhan bukan membahayakan kesehatan," katanya.