Strategi pemisahan
Dengan dimulainya pendudukan pada tahun 1967, otoritas Israel mulai menjalankan kebijakan pemisahan fisik, politik, dan ekonomi Yerusalem Timur dari sisa wilayah Palestina yang diduduki (OPT). Kebijakan yang cenderung penjajahan ini masih terus berlanjut hingga hari ini.
Strategi pemisahan memperoleh momentum selama dekade terakhir melalui tindakan yang telah mengubah realitas fisik dan demografis kota dan lanskap yang didominasi Palestina dan Arab. Ini termasuk aneksasi kota dan perluasan pemukiman Yahudi di dalam dan sekitar Yerusalem Timur, serta pembangunan tembok pemisah, yang secara efektif mendefinisikan ulang perbatasan dari garis gencatan senjata pra-1967.
Penghalang pemisah, antara lain, menghalangi pergerakan masuk dan keluar dari Yerusalem Timur, memutusnya dari sisa Tepi Barat, pedalaman alami, dan menghalangi akses ke tempat-tempat suci, hingga pasar. Serta layanan kesehatan bagi warga Palestina yang tinggal di sisi lain dari penghalang yang secara nominal berada di bawah yurisdiksi Otoritas Palestina (PA).
Dari tiga juta warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki, hanya mereka yang berusia di atas usia tertentu yang diizinkan mengakses Yerusalem pada hari Jumat. Sedangkan yang lain harus mengajukan izin yang sulit diperoleh dari otoritas Israel. Pembatasan tersebut telah menyebabkan kemacetan dan ketegangan yang serius di pos pemeriksaan antara Tepi Barat dan Yerusalem, di mana puluhan ribu orang harus melewati pemeriksaan keamanan untuk memasuki Yerusalem untuk berdoa.
Ketegangan sebelumnya
Masjid Al-Aqsa di Yerusalem tetap menjadi titik pertikaian konstan dalam konflik Palestina-Israel. Situs tersebut telah menjadi bagian wilayah yang paling diperebutkan di Tanah Suci sejak Israel menduduki Yerusalem Timur termasuk Kota Tua pada tahun 1967, bersama dengan Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Ketegangan telah membara di dekat Al-Aqsa selama beberapa tahun terakhir. Dan pada 2015, bentrokan terjadi ketika ratusan orang Yahudi mencoba memasuki kompleks masjid untuk memperingati hari raya Yahudi. Setahun kemudian, protes juga meletus setelah kelompok pemukim Yahudi mengunjungi kompleks tersebut selama 10 hari terakhir bulan suci Ramadhan yang bertentangan dengan tradisi.
Sebagian besar bentrokan di kompleks tersebut terjadi sebagai akibat dari pemukim Israel yang memprovokasi tindakan yang mencoba berdoa di dalam kompleks. Yang mana hal itu secara langsung melanggar status quo.
Selain itu, ketegangan meningkat pada Juli 2017 setelah Israel menutup Kompleks Masjid Al-Aqsa untuk pertama kalinya sejak 1969. Yakni setelah baku tembak mematikan antara tiga warga Arab-Israel dan pasukan Israel yang berakhir dengan kematian dua petugas polisi Israel dan tiga orang warga Arab-Israeli.
Israel kemudian menutup situs tersebut untuk shalat Jumat dan membukanya kembali pada pekan berikutnya dengan tindakan baru, termasuk detektor logam dan kamera tambahan di pintu masuk kompleks. Tetapi pengunjuk rasa Palestina berdoa di luar gerbang dan menolak memasuki kompleks sampai Israel menghapus langkah-langkah baru yang dipandang sebagai langkah terbaru oleh Israel untuk memaksakan kendali dan menghakimi kota itu.
Baru-baru ini, lebih dari 100 warga Palestina terluka setelah kekerasan meletus di luar salah satu pintu masuk ke Kota Tua yang bertembok. Yaitu tempat orang-orang sayap kanan Israel menyelesaikan pawai, di mana para peserta melecehkan warga Palestina dan meneriakkan "matikan orang Arab" dan melambaikan spanduk bertuliskan "Kematian bagi teroris”. Bulan Sabit Merah Palestina mengatakan telah merawat sedikitnya 105 orang, dengan sekitar 20 dari mereka dirawat di rumah sakit.
Kantor presiden Palestina mengutuk peningkatan hasutan oleh kelompok pemukim Israel sayap kanan ekstrem dan mendesak komunitas internasional untuk melindungi rakyat Palestina dari serangan pemukim yang sedang berlangsung.
"Yerusalem Timur adalah ibu kota abadi Palestina dan merupakan garis merah," kata Presiden Palestina, dalam pernyataan persnya.