Pengalaman Puasa Tiga Muslim Rohingya di Thailand

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Ani Nursalikah

Rabu 06 May 2020 17:23 WIB

Pengalaman Puasa Tiga Muslim Rohingya di Thailand. Salah satu pendiri Rohingya Peace Network of Thailand Bangkok, Hajee Ismael. Foto:

Pengalaman Puasa Tiga Muslim Rohingya di Thailand

Shaker Mohamed (53 tahun)

Selama 35 tahun di Thailand, penjual roti Shaker Mohamed tidak pernah merasa begitu putus asa dan tertekan selama bulan Ramadhan. Tahun ini, ini bisnis terasa suram baginya.

Ayah empat anak, yang pernah menghasilkan 700 hingga 1.000 baht per hari dengan menjual roti manis di pasar dan pabrik-pabrik baru, nyaris tidak cukup untuk makan bersama keluarganya sejak pecahnya Covid-19.

"Bisnis melambat sejak jam malam diberlakukan. Penjual roti kebanyakan bekerja dari sore hingga larut malam. Karena orang-orang yang berlatih menjaga jarak dan bekerja dari rumah tidak ada cukup banyak pelanggan. Suatu hari bisnis begitu buruk sehingga saya memiliki hanya 70 baht di saku saya. Dari harga murah yang saya buat hari ini, yang bisa saya beli untuk makan selama berbuka puasa adalah gorengan di pagi hari, sayuran termurah, nasi, dan mangga, yang karena panen yang baik sehingga tahun ini murah,"ujar dia.

Mohamed ingat saat penghasilannya memungkinkan keluarga memiliki Ramadhan yang tak terlupakan. "Di masa lalu ketika kami berbuka puasa sebagai sebuah keluarga selama bulan suci, kami menikmati hidangan pilihan. Sering kali ada makanan laut, daging sapi dan bahkan kari domba. Kami memiliki kurma dan buah-buahan kering lainnya yang disumbangkan oleh saudara-saudara dari masjid. Itu adalah saat kebahagiaan luar biasa bagi saya," tutur dia.

Meskipun ada banyak rintangan yang menimpanya, dia mengatakan akan mempertahankan imannya. "Saya harus tetap positif, walaupun itu sulit. Pandemi Covid-19 telah membayangi ibadah puasa Ramadhan, yang hari ini telah berubah agar sesuai dengan aturan kesehatan masyarakat tentang jarak fisik. Setelah mengalami ini, bulan puasa tidak akan pernah sama bagi saya," kata dia.

Aryukarn Pathan (28 tahun)

Sebagai seorang pengusaha, Pathan merayakan Ramadhan tahun ini dengan perasaan yang bercampur. Ia lahir dari keluarga etnis Rohingya yang menjadikan Thailand sebagai rumah mereka hampir 50 tahun.

Dia ingat bulan-bulan Ramadhan yang lalu memiliki waktu-waktu kegembiraan, dihabiskan dalam pertemuan sosial dan pesta-pesta yang selalu dinanti-nantikannya setelah seharian puasa dari makanan dan air. "Ramadhan telah menjadi waktu yang ramah bagi saya ketika, setelah berbuka puasa, keluarga dan teman-teman saya menikmati makanan mewah dan pertemuan pada sore hari. Tetapi pandemi global ini telah memberikan bayangan yang panjang dan menyedihkan atas praktik-praktik ini," kata Pathan, seorang lulusan perdagangan.

Pathan menambahkan, sulit untuk tidak menjadi emosional atas kenyataan orang yang paling terpengaruh oleh virus ini adalah orang miskin. "Selain saudara-saudara Rohingya kami, ada banyak orang di masjid kami yang kehilangan pekerjaan selama periode ini. Mereka membutuhkan makanan untuk keluarga mereka dan kesempatan untuk mendapatkan uang. Dalam keadaan normal, kami akan menyediakan makanan amal untuk mereka."

Pathan mengatakan karena Covid-19, bisnisnya dalam keadaan yang buruk. Namun demikian, keluarganya secara rutin menyumbangkan kurma untuk keluarga Rohingya yang kurang beruntung untuk berbuka puasa. Meskipun selama Ramadhan banyak donatur biasanya dengan menawarkan makanan, uang tunai, dan donasi kepada mereka yang memiliki sedikit uang untuk membelinya. Dia mengatakan sumbangan tahun ini lebih sedikit karena banyak keluarga donatur terkena dampak virus.

Di masa lalu, ia teringat bagaimana komunitas Muslim di provinsi itu membuat meja panjang di jalan-jalan, menyajikan makanan panas gratis untuk orang miskin saat matahari terbenam untuk membantu berbuka puasa.

"Tentu saja, aku sangat merindukan itu. Tahun ini aku mendapati diriku terputus dari banyak hal yang membuat bulan itu istimewa. Selalu sulit menyeimbangkan pembatasan dengan tradisi. Ketika aku merasa putus asa memikirkan hal ini, aku mengingatkan diriku bahwa itu untuk kebaikan semua orang. "

Sementara Pathan belum pernah ke Myanmar, dia mengatakan ayahnya sering berbagi kenangan terindah untuk merayakan Ramadhan di negara bagian Rakhine asli mereka, di mana keluarga besar mereka pernah hidup bahagia, yang tentu saja puluhan tahun sebelum pembersihan etnis oleh negara yang mendorong ribuan orang keluar dari Myanmar dengan berjalan kaki hanya untuk mati.

 

"Saya diberi tahu nenek saya menyiapkan banyak makanan lezat yang dimasak di rumah, yang ia bagikan dengan tetangga dan teman-teman kami. Sepanjang tahun ayah saya sebagai seorang anak lelaki menunggu Ramadhan karena keluarga dulu mengadakan kumpul-kumpul dengan kerabat dari dekat dan jauh," ujar dia.

Terpopuler