REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ramadhan di Indonesia memiliki beberapa keunikan yang bersumber dari tradisi, perkembangan budaya dan syiar Islam. Tarawih keliling, grebek sahur atau juga bagi-bagi ta’jil, sampai takbir keliling di antara keunikan saat bulan puasa di Indonesia yang negara-negara lain tidak memilikinya.
Ahmad Zarkasih, Lc dalam bukunya Nawaitu Shauma Ghadin, Adakah Dalilnya? mengatakan, uniknya Ramadhan di Indonesia itu bukan hanya variasi tradisi dan budaya yang dilakukan masyarakatanya, seperti tarawih keliling, grebek sahur atau juga bagi-bagi ta’jil, sampai takbir keliling.
"Tapi juga yang unik dan khas Ramadhan di Indonesia adalah banyaknya perdebatan masalah agama khususnya puasa yang terjadi di antara sesama saudara muslim," katanya
Terlebih lagi kata Zarkasih jika hal itu menjadi eksponen bagi suatu ajaran atau aliran tertentu dalam Islam. Bahkan puasa belum dimulai pun, kata dia menjadi perdebatan sudah terjadi di kalangan umat Islam Indonesia yakni dalam masalah penentuan Ramadhan.
Hal itu kata Zarkasih menjadi maklum, karena di Indonesia banyak sekali oraganisasi masyarakat Islam yang merasa punya wewenang dan kuasa untuk menentukan awal Ramadhan. Keunikan terkait hal ini kata Zarkasih adalah setiap ormas Islam itu
punya metode sendiri-sendiri yang berbeda dengan ormas Islam lainnya terlebih lagi pemerintah pusat.
"Walhasil, tanggal 1 Ramadhan di Indonesia pun akhirnya bisa terjadi pada 2 atau 3 nyaris beruntun dan itu juga terjadi untuk Idul Fitri," katanya.
Zarkasih mencontohkan keunikan lain ada pada amalan-amalan pendamping puasa. Misalnya pada malam pertama, dan puasa belum mulai, perdebatan lainnya juga muncul, yakni tentang jumlah rakaat tarawih.
Dan yang berbedebat tentang hal ini kubunya lumayan banyak. Ada kubu yang menyebut sholat tarawih yang susuai dengan sunnah adalah delapan rakaat. Kubu lain mengklaim bahwa sholat tarawih yang disepakati oleh ulama dari zaman ke zaman itu 20
rakaat.
"Kubu delapan rakaat pun fraksinya terbelah; ada yang delapan rakaat dengan format dua rakaat dua rakaat, ada juga delapan rakaat dengan versi empat rakaat kali dua," katanya.
Dan sementara faksi-faksi ini juga berbeda-beda dalam teknis Sholat
witirnya; ada yang tiga rakaat langsung, tapi tidak sedikit yang mengerjakan dengan format 2-1. Kubu 20 rakaat juga terlihat ada faksi-faksi berbeda, hanya saja bedanya tidak pada inti tarawih, melainkan pada jeda yang diberlakukan.
Sebagian melakukan jeda di setiap 4 rakaat, sehingga dalam semalam mereka punya jeda 5 kali. Namun tidak sedikit yang melakukan jeda di setiap delapan rakaat. Bahkan ada yang melakukan jeda setelah 10 rakaat, jadi hanya sekali jeda.
"Ramainya sih banyak yang tidak melakukan jeda sama sekali, gas terus
sampai 23 rakaat. Uniknya lagi, kegiatan mengisi jeda pun berbeda-beda di setiap masjid; ada yang shalawatan, bahkan ada juga yang hanya sekedar mengobrol sesama jemaah," katanya.
Hanya saja dalam kondisi pandemi covid-19 ini, kata Zarkasih, ada wacana untuk meniadakan sholat tarawih berjamaah di masjid dan mushalla serta pusat kegiatan Islam guna memutus rantai virus untuk terus menyebar. Sepertinya menurut Zarkasih, perselisihan rakaat tarawih di masjid agak tidak terlalu kencang.
"Tapi saya rasa perdebatan tetap dan akan terus kencang di grup-grup perbincangan di media sosial. Dan itu memang kebiasaan kita. Nikmati saja," katanya.
Zakarsih menambahkan, Shalat tarawih sudah dikerjakan, masih ada lagi perdebatan yang terjadi di antara umat Nabi Muhammad SAW di Indonesia ini, dan pagi hari Ramadhan belum juga datang. Yakni masalah nawaitu shauma ghadin atau masalah niat puasa Ramadhan.
"Sebagian muslim Indonesia ogah melantunkan niat tersebut, bahkan tidak sedikit di antaranya menganjurkan untuk bid’ah katanya dan tidak pernah ditemukan ada hadits tentang niat seperti itu," katanya.
Terlebih lagi memang ternyata Nabi SAW tidak melantunkannya, dan tidak ada juga sahabat Nabi yang melakukannya. Dan memang tidak ada riwayat yang menyebut Nabi SAW setelah tarawih menuntun para sahabat untuk berniat Ramadhan dengan sama-sama
membaca nawaitu shauma ghadin.
"Betul memang tidak ada. Ya jangankan nawaitu shauma Ghadin, Nabi SAW merutinkan sohlat tarawih berjamaah di masjid bersama para sahabat pun tidak ada riwayatnya," katanya.
Hal ini kata Zarkasih, menjadi berbeda di sebagian besar masjid, atau banyak masjid yang tetap membaca niat tersebut secara bersama-sama dengan suara yang dikeraskan di setiap selesai sholat tarawih. Alasannya sederhana, ini amalan yang sudah ada turun temurun. Dan itu juga didukung oleh banyaknya kitab-kitab kuning (fiqih al-Syafi’iyyah) yang menyebut niat itu di dalam bab puasa kitab mereka.
Namun, pada masa pandemi ini, setelah selesai tarawih di masjid, kata Zarkasih, masyarakat akan langsung istirahat untuk persiapan sahur. Namun, ketika sahur juga ada hal-hal yang unik yang besumber dari perbedaan pemahaman yaitu masalah imsak.
"Perdebatannya ya standar, banyak orang yang mempertanyakan, kenapa imsak itu terjadi 10 menit sebelum waktu subuh? Padahal imsak itu adalah menahan, maksudnya menahan makan dan minum serta hal lain yang membatalkan puasa," katanya.
"Dan puasa itu waktunya mulai ketika terbit fajar alias waktu subuh. Bukan 10 menit sebelum subuh. Lalu imsak yang 10 menit sebelum subuh itu namanya apa? Seperti itu lah kira-kiranya," katanya.
Meski berbeda pendapat, puasa di hari pertama sudah dikerjakan dan alhamdulillah bisa dilalui dengan cukup baik untuk sebuah penahanan lapar dahaga di hari pertama.
"Tapi sayangnya di ujung hari, perdebatan itu muncul lagi. Masalah Allahumma Laka Shumtu, ya doa buka puasa. Banyak muslim perkotaan yang menolak doa buka puasa itu; haditsnya dhaif, begitu,"katanya.
Mereka kata Zarkasih lebih suka mengamalkan doa dari yang shahih, dan benar-benar shahih. Akhirnya allahumma laka Shumtu diganti dengan redaksi; dzahaba-zama’u wa-btallatil-’uruqu.
Tentu doa ini kata Zarkasih, agak berat bagi lisan yang sudah terbiasa membaca Allahummah laka Shumtu. Apalagi lisannya orang yang sudah renta. Karena khawatir disebut menganamlakn hadits dhaif yang lemah dan meninggalkan hadits shahih jadi dilema tersendiri akhirnya, tetap Allahumma laka shumtu, berarti meninggalkan hadits shahih, jika diganti dengan dzahaba-zama’u.
"Lisan sudah lumayan kaku untuk bisa baca doa begitu. Akhirnya dia pilih opsi terakhir; yaudah mending ngga usah doa aja dah. Tinggal makan aja dah. Kira-kiranya seperti itu, kan tetpi jangan terlalu dianggap serius ya," katanya.
Selain itu, perbedaan lain ketika sepertiga bulan Ramadhan sudah lewat, ternyata. Kata Zarkasih hal ini mungkin agak berlebihan kalau disebut perdebatan, lebih tepatnya bisa disebut kebingungan.
"Yakni soal malam lailatul-Qadar; karena memang di 10 terakhir itulah waktunya ada. Kebingungan yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia mengenai; apakah harus melakukan i’tikaf di masjid agar dapat meraih lailatul Qadar? Kalau memang harus, apa yang harus dilakukan untuk meraih itu? Lalu apakah mungkin kita tahu tanda dan ciri malah lailatul Qadar itu?
Kata Zarkasih, tren yang terjadi beberapa tahun belakangan, hampir setiap masjid kota nerlomba-lomba untuk memberikan produk program 10 malam terakhir
dengan sangat baik dan maksimal, dari mulai i’tikaf bersama, bahkan sekeluarga. Dan juga menyediakan tenda untuk bisa bermalam. Juga dengan memperbanyak kajian-kajian sebagai kegiatan mengisi malam-malam berkah tersebut.
Tapi sebagian umat lain melihat kondisi itu berlebihan. Mereka anggap bahwa malam lailatul Qadar itu tidak bisa hanya dimeriahkan dengan i’tikaf di 10 terakhir. Pemahaman yang ada, bahwa lailatul Qadar menyasar orang-orang yang sejak awal ramadhan sudah serius menjalankan kurikulum Ramadhan.
"Toh tidak ada syarat untuk dapat lailatul Qadar mereka anggap, tidak perlu dengan i’tikaf; karena syarat utamanya adalah ibadah di malam itu," katanya.
Dan ibadah tidak harus i’tikaf. Bahkan pendangan yang masyhur dan diamalkan juga bahwa shalat tarawih di malam itu sudah cukup untuk dikatakan ibadah yang bisa mengantarnya menraih malam mulia.
Artinya kata dia, memang dari awal sampai akhir, Ramadhan di Indonesia itu penuh dengan masalah yang mestinya diselesaikan sebelum waktunya guna
mengoptimalkan Ramadhan dengan amal, bukan perdebatan yang kata Zarkasih tidak akan pernah ada ujung dan garis finishnya.