REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puasa sudah menjadi salah satu praktik penyucian diri sejak Islam datang. Orang-orang zaman dahulu berkeyakinan bahwa puasa bisa membawa pada kebaikan dan menjauhkan diri dari marabahaya.
Puasa dilakukan oleh semua kalangan, mulai dari orang biasa hingga pemuka. Ilmuwan seperti Phytagoras bahkan rutin puasa. Ia pernah puasa selama 40 hari karena yakin itu bisa membantu menajamkan daya pikirnya.
Puasa juga diyakini oleh orang zaman dahulu sebagai salah satu cara menebus dosa. Praktiknya begitu meluas dan umum. Hingga akhirnya Islam datang, barulah muncul penelitian-penelitan soal manfaat puasa.
Dalam buku 'Terapi Puasa' karya Dr. Abdul Jawwad Ash-Shawi, pakar kedokteran terkenal di dunia Islam, Ibnu Sina mengatakan, puasa adalah obat untuk segala penyakit. Selama masa Napoleon menduduki Mesir, puasa sangat gencar.
Praktik ini dilakukan di berbagai rumah sakit sebagai terapi pengobatan, termasuk penyakit kelamin. Pada abad renaissance, para ilmuwan Eropa menganjurkan masyarakat menghindari pola makan berlebihan.
Mereka bahkan meminta penduduk untuk meninggalkan budaya makan dan minum serba enak. Sebaliknya, mereka merekomendasikan puasa untuk meminimalisir nafsu hedonik yang menggebu.
Hal ini dilakukan oleh Ludwick Carnaro, seorang ilmuwan Itali. Pada usia 83 tahun, ia menulis sejumlah naskah soal manfaat puasa. Menurutnya, makan berlebihan, apa pun jenisnya, sesaat memang menyenangkan.
"Tapi pada akhirnya, ini malah jadi bumerang dan mengakibatkan berbagai penyakit, bahkan dalam kondisi tertentu bisa sebabkan kematian," kata dia. Seorang dokter Inggris, Shane (1671-1743), juga menyindir perilaku masyarakat yang saat itu hedonis.
Ia mengatakan, perilaku seperti itu secara tidak sadar mempercepat ajal. Di Jerman, dokter Frederick Hofman (1660-1742) menemukan bahwa puasa bisa membantu pengobatan penyakit akut. Mulai dari epilepsi, kanker darat, katarak, tumor gusi, hingga borok.
Ia menyarankan pasiennya, yang menderita penyakit apa pun untuk tidak makan apa-apa. Di Rusia, para dokter juga mencapai kesimpulan senada di abad 18 dan 19 Masehi. Dr. Peterfinia Minov dari Universitas Moskow bahkan menyarankan orang sakit untuk tidak makan sama sekali.
Anjuran ekstrim ini menurutnya tindakan darurat. Intinya adalah demi memberikan masa tenang pada lambung. Agar orang sakit bisa memperbaiki kinerja lambungnya sehingga seimbang.