REPUBLIKA.CO.ID, Di Sumatra Barat (Sumbar), ada masyarakat yang menjalani Tarekat Naqsabandiyah di Kelurahan Cupak Tangah, Kecamatan Pau, Nagari Pasar Baru, Padang, Sumatra Barat (Sumbar). Kegiatan mereka terpusat di Surau Baru dan Surau Baitul Makmur.
Imam surau yang juga pengurus Surau Baru, Zahar (57 tahun), mengungkapkan terdapat perbedaan penentuan hilal antara pemerintah dan Tarekat Naqsabandiyah. Pemerintah baru akan melihat kehadiran bulan, satu hari sebelum Ramadhan tiba.
"Oleh kami, hilal sudah dilihat tiga bulan sebelum Ramadhan tiba," kata Zahar, di sela pekerjaannya menganyam daun kelapa menjadi kulit ketupat, kemarin.
Zahar menjelaskan, penentuan Ramadhan dimulai dengan melihat bulan sejak Rajab. Pasalnya melihat bulan sehari sebelum Ramadhan tidak mungkin dilakukan karena terlalu cepat.
Menggunakan perhitungan munjid, tanggal 1 Rajab dihitung ketika bulan berdiri tepat di atas ubun-ubun di waktu maghrib. Bila sesuai, maka hari itu dihitung awal Rajab. Bila kurang yakin, jelas Zahar, perhitungan dilakukan dengan melihat bulan penuh di waktu subuh. "Kalau pas di atas ubun-ubun, maka hari itu adalah hari ke-15 Rajab."
Perhitungan yang sama dilakukan juga selama Syaban. Setidaknya dilakukan empat kali pengecekan bulan, yaitu sekali pada awal, dua kali pada pertengahan dan sekali di akhir Syaban.
Dari situ perhitungan menjadi lebih mudah. Oleh Tarekat Naqsabandiyah perhitungan penanggalan Hijriah selalu menggunakan sistem genap-ganjil. Artinya Rajab selalu dihitung genap atau 30 hari dan Sya'ban selalu dihitung ganjil, 29 hari. Hal ini berarti jumlah hari di Bulan Ramadhan akan selalu 30 hari.
Perhitungan yang selama ini dilakukan dianggap terlalu sempit. Perhitungan Ramadhan tidak boleh salah karena wajib hukumnya. Bila ditinggalkan maka akan berdosa. "Bayangkan kalau setiap satu Ramadhan selalu salah, sudah berapa kali puasa yang kita tinggalkan?" ujar pria bertubuh kurus ini.