REPUBLIKA.CO.ID, UIGHUR -- Pemerintah Cina kembali memberlakukan pengawasan ketat kepada Muslim Uighur yang berada di Provinsi Xianjiang. Pada Ramadhan tahun ini, pemerintah negeri tirai bambu itu membatasi semua kegiatan ibadah Muslim Uighur seperti puasa Ramadhan, shalat, ceramah, hingga memakai jilbab bagi muslimah.
Peraturan itu membuat ruang gerak Muslim Uighur dalam menjalani ibadah terbatasi. Namun, jika berkaca pada Ramadhan tahun lalu, dimana Muslim Uighur secara resmi dilarang puasa Ramadhan, kemungkinan besar pengawasan ketat Pemerintah Cina bakal bermuara kepada peraturan dilarangnya Muslim Uighur untuk kembali berpuasa Ramadhan tahun ini.
Onislam.net melaporkan, pengawasan tersebut berlaku kepada semua umat muslim, tidak hanya untuk Muslim Uighur saja, tapi umat muslim yang tinggal di dataran Cina. Peraturan itu juga mengikat kepada semua profesi tanpa terkecuali, mulai dari dosen, mahasiswa, PNS, dan tentu saja guru agama.
Pembatasan terhadap Muslim Uighur di provinsi Xinjiang itu pun tercium oleh sebuah panel Pemerintah Amerika Serikat yang mengurus tentang kebebasan beragama. Mereka mendesak pihak berwenang di Cina segera mengakhiri pembatasan terhadap Muslim Uighur selama Ramadhan.
“Demi keamanan serta kebebasan, Pemerintah Cina harus menghapus pembatasan terhadap semua kegiatan agama yang damai, terutama selama bulan Ramadhan,” kata Dr Katrina Lantos-Swett, ketua Komisi AS tentang Kebebasan Beragama Internasional (USCIRF) seperti dilaporkan The America-Uighur Association.
Katrine mengatakan, pembatasan itu bakal memicu kemarahan dan dendam. "Penekanan terhadap agama, budaya, dan kehidupan politik justru dapat memicu ekstremisme yang selama ini diperangi oleh Beijing," kata dia.