Ramadhan Indah di Tahrim

Red: Hafidz Muftisany

Sabtu 18 Aug 2012 16:00 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Tak terasa, dua tahun sudah saya hidup di negeri orang. Jadi, tinggal menungu satu tahun lagi, untuk layak disebut “Bang Toyib” he he. Selama dua tahun itu pula, banyak hal berharga yang saya dapatkan. Mulai dari bahasa, budaya, sosial, religiusitas, sejarah, dan perkembangan peradaban yang sangat menarik.

Supaya inspirasi saya sebagai mahasiswa yang bercita-cita menjadi penulis tak lekas kering, maka saya ingin berusaha menceritakan pengalaman-pengalaman saya di note secara berkala. Insya Allah.

Tahun ini adalah tahun pertama saya menjalani ibadah Ramadhan serta lebaran di Kota Tarim. Karena pada tahun lalu, aktivitas perkuliahan masih dilaksanakan di Kota Mukalla. Sebagai Kota yang memiliki akar peradaban Islam yang kuat, Tarim benar–benar memiliki karakteristik andalan yang berbeda dengan kota-kota lain di Yaman, khususnya ketika memasuki bulan suci Ramadhan.

Salah satu hal baru yang saya dapatkan di sini, adalah tradisi ”tarawih keliling”. Iklim beribadah benar–benar terasa di kota ini. Sudah menjadi tradisi Ramadhan, bahwa masjid–masjid di Tarim tidak menghelat ritual qiyamul lail secara bersamaan. Qiyamul lail yang diisi dengan salat Isya yang kemudian dilanjutkan dengan tarawih berjamaah tersebut dilaksanakan secara bergilir. Masing-masing masjid memiliki jadwal khusus.

Sebagai contoh, Masjid Jamâl al-Lail, Masjid Sahl, dan Masjid al-Birr misalnya, konsisten menggelar qiyâmul lail pukul 21.00 sampai 22.00 waktu setempat. Masjid Bâ’alawy dimulai pukul 23.00. Disusul berikutnya oleh Masjid al-Muhdhâr pada pukul 00.30. Sedangkan Masjid Jâmi’ Tarim, yang merupakan pusat kegiatan keagamaan masyarakat setempat, baru memulainya pada pukul 01.30 dan berakhir pukul 02.30.

Kegiatan qiyamul lail berjamaah tersebut biasanya diakhiri dengan pembacaan qashidah salawat atau khotmil Qur’an yang dipimpin seorang habib. Jika ditotal, dalam satu malam ada sekitar lima ”putaran” pelaksanaan salat tarawih, di masjid yang berbeda.

Karena itulah, malam-malam Ramadhan di Tarim benar-benar ”hidup” dan ramai oleh ibadah. Bagi yang memiliki semangat lebih untuk beribadah, aktivitas tarawih keliling merupakan rutinitas yang tak bisa ditinggalkan.

”Dalam semalam, Alhamdulillah saya bisa qiyamul lail hingga seratus rakaat secara berjamaah”, ujar seorang kawan mahasiswa asal Tegal, Jawa Tengah.

Saya sendiri pernah mencoba tarawih keliling. Berpindah dari masjid ke masjid hingga waktu sahur menjelang subuh. Namun hanya bertahan beberapa malam saja. Alasannya jelas: stamina yang loyo. He he. Saya juga sering bercanda menyebut kawan yang aktif menjalankannya sebagai PPT, ”Para Penggiat Tarawih”.

Sore harinya, masjid–masjid di Tarim secara serentak mengadakan buka bersama. Warga Yaman banyak yang  lebih memilih berbuka puasa di masjid, bersama anak-anak mereka. Menu takjil yang disajikan pun beraneka ragam. Ada yang sekedar menyediakan kurma dan ʻashir (jus buah).

Ada pula yang menyajikan menu spesial, seperti syurbah (sejenis bubur), dan kue sambossa (kue yang berbentuk segitiga, di dalamnya terdapat telur dan kentang yang dipotong halus). Menu yang terakhir merupakan makanan khas Yaman favorit saya. Kelezatannya, hemm…, sungguh tak bisa dideskripsikan dengan kata-kata.

Satu kebiasaan buruk ketika di Tanah Air yang berhasil saya tinggalkan, adalah langsung melahap makanan pokok saat berbuka, seperti nasi dan lauk pauk, ditambah es serta minuman pelengkap lainnya. Sehingga akibatnya, pelaksanaan salat Maghrib menjadi ’setengah hati’ karena kekenyangan. Di Yaman, tradisi itu tidak berlaku. Setelah takjil sekedarnya, langsung dilanjutkan dengan ibadah salat Maghrib berjamaah. Sedangkan makan malam baru dilaksanakan setengah jam setelahnya. (Bersambung)

Penulis : Muhammad Birrul Alim Al-Kautsari

Presiden PPI Yaman

Study Ribath Treem Yemen

Rubrik ini bekerja sama dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia

Terpopuler