Menyambut Lebaran Tanpa Gema Takbir

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Gita Amanda

Selasa 09 Apr 2024 17:50 WIB

Pelaksanaan Sholat Idul Fitri di KBRI Beijing tahun 2023 lalu. (ilustrasi) Foto: KBRI Beijing Pelaksanaan Sholat Idul Fitri di KBRI Beijing tahun 2023 lalu. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Laporan Jurnalis Republika, Kamran Dikarma dari Beijing, Cina

 

Baca Juga

Tak ada gema takbir saat menyongsong lebaran tahun ini. Di Beijing, hiruk pikuk kota berjalan seperti biasa. Saya menghabiskan hari terakhir Ramadhan di apartemen; menatap layar laptop dan menulis tulisan ini. Ada desakan untuk berbagi sedikit cerita guna menepikan kesendirian.

Lebaran di Cina akan jatuh pada Rabu, 10 April 2024. Ini adalah pengalaman perdana saya menjalani Ramadhan dan akan melewati Idul Fitri di luar negeri; di negara yang warga Muslimnya hanya sekitar 1,5 persen dari total populasi 1,4 miliar jiwa. 

Sejak akhir Februari lalu, saya sudah berada di Beijing untuk berpartisipasi dalam program China International Press Center (CIPC). Program tersebut akan berlangsung selama empat bulan.

Tentu ada perasaan senang ketika saya diberi kesempatan untuk mengikuti program CIPC. Namun saya juga menyadari bahwa salah satu konsekuensi dari keputusan menjadi peserta CIPC adalah melewatkan momen Ramadhan dan lebaran bersama keluarga. Agak berat rasanya, tapi keputusan telah diambil dan harus dijalani. 

Mengarungi Ramadhan di Cina tentu memberi beberapa pengalaman unik. Misalnya, saya tak pernah menduga akan ada momen dalam hidup ketika saya harus sahur dan iftar sendirian selama sebulan Ramadhan. Pada waktu-waktu tertentu, saya merindukan hangatnya suasana sahur dan berbuka bersama keluarga. Jika kalian masih diberi kesempatan mengalami momen tersebut, nikmati dan syukuri. 

Karena tak berada di Indonesia, makanan atau minuman yang saya konsumsi, terutama ketika iftar, tentu berbeda. Tempe mendoan, risol, dan lontong dengan baluran bumbu kacang adalah menu favorit saya ketika berbuka. Kemudian es kelapa muda atau es blewah menjadi pelengkapnya.

Namun selama sebulan Ramadhan di Beijing, saya tidak bisa menikmati hal-hal tersebut. Terkadang saya juga hanya bisa menelan liur ketika melihat video-video pendek di Instagram atau Youtube yang menampilkan makanan-makanan khas Indonesia. Karena perlu diakui, saya lebih menyukai dan menikmati masakan Indonesia dibandingkan masakan ala Barat, Timur Tengah, Jepang, atau Cina. 

Kendati demikian, menjalani Ramadhan di Cina juga memberi pengalaman baru yang menarik. Misalnya, dua hari sebelum Ramadhan, saya berkesempatan mengunjungi Masjid Nanxiapo, yakni salah satu masjid tertua di Beijing. Bangunan masjid tersebut eksotis karena memiliki perpaduan gaya arsitektur Cina tradisional dan Arab. 

Ketika menyambangi Masjid Nanxiapo, saya sempat bertemu salah satu anggota komite masjid, yakni Yosuf Wang. Dia sangat ramah dan menerima kunjungan saya. “Alhamdulillah… Sebentar lagi Ramadhan. Kami (di Masjid Nanxiapo) suka menggelar iftar bersama. Anda boleh datang kapan-kapan,” ujar Yosuf kepada saya kala itu. 

Meski pertemuan dengan Yosuf sangat singkat, tapi batin saya seperti merasakan keakraban mendalam dengannya. Sayangnya, hingga akhir Ramadhan, saya tidak mempunyai kesempatan untuk datang lagi ke Masjid Nanxiapo dan memenuhi undangan iftar dari Yosuf. 

Salah satu pengalaman menarik lainnya selama Ramadhan adalah ketika saya menghadiri acara buka puasa bersama di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Beijing. Momen tersebut menjadi penghiburan karena saya berkesempatan bertemu dengan para warga Indonesia (WNI) yang mayoritas adalah mahasiswa. Senang bisa bertemu orang-orang dari negara yang sama saat berada di negara lain. Meski baru pertama bertemu, rasanya sudah seperti teman akrab atau bahkan saudara.

Kegiatan buka puasa bersama di KBRI Beijing juga sangat berkesan karena akhirnya saya bisa menikmati gorengan, yakni pastel, serta es blewah. Meskipun tak ada tempe mendoan, risol, dan lontong, saya tetap menikmatinya. Karena setidaknya masih ada siraman bumbu kacang pada pastelnya. Acara buka bersama kemudian dilanjutkan dengan shalat Maghrib, Isya, dan Tarawih berjamaah. 

Informasi tentang kegiatan buka puasa bersama di KBRI Beijing saya peroleh dari Ahmad Syifa, mahasiswa Indonesia berusia 39 tahun yang tengah menempuh pendidikan S3 jurusan ekonomi terapan (applied economic) di Beijing Institute of Technology. Nomor kontak pria yang akrab disapa Syifa itu saya dapatkan dari seorang editor di kantor. 

Selama Ramadhan, Syifa, bersama para mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Lingkar Pengajian Beijing, aktif menggelar kegiatan khataman Alquran di KBRI. KBRI Beijing mempunyai majelis taklim bernama Majelis At-Taqwa. Majelis tersebut kini diketuai oleh Atase Laut RI di Beijing Kolonel Yulindo.  

Saat tulisan ini dibuat, saya sudah mengontak Syifa tentang kemungkinan saya datang lagi ke KBRI Beijing untuk melaksanakan shalat Idul Fitri dan merayakan Idul Fitri bersama para WNI. Dia pun menyambut. “Siap, Mas. Insya Allah nanti saya juga lebaran di sana,” tulis Syifa dalam balasan pesan singkatnya kepada saya.

Berkumpul dengan para WNI setidaknya akan menjadi obat penawar dari perasaan sentimental karena tak dapat berlebaran bersama keluarga di rumah. Dan saat masih menulis tulisan ini, Siti Radziah, wartawan Muslim asal Malaysia yang juga sedang mengikuti program CIPC, mengirim pesan singkat kepada saya. Siti bertanya, apakah memungkinkan jika dia ikut bersama saya ke KBRI Beijing untuk merayakan Idul Fitri. Saya memang sudah memberi tahu Siti sebelumnya tentang rencana merayakan lebaran di KBRI. 

Siti mengatakan, dia sudah mengontak Kedutaan Besar (Kedubes) Malaysia di Beijing dan menanyakan apakah mereka menggelar acara perayaan Idul Fitri. Namun Kedubes Malaysia tak menggelar acara atau kegiatan apa pun. Saya sudah menghubungi Ahmad Syifa untuk menanyakan apakah memungkinkan jika saya mengajak Siti ke KBRI. 

Syifa kemudian meminta saya agar mengirimkan foto paspor Siti terlebih dulu. Singkatnya, setelah mengirimkan foto paspor Siti ke pihak KBRI Beijing, Syifa memberi tahu saya bahwa KBRI memberi izin. 

Informasi dari Syifa pun saya teruskan kepada Siti. Jurnalis kantor berita Bernama itu sangat senang mendengar kabar bahwa dia diperbolehkan merayakan lebaran di KBRI Beijing. Saya ikut senang karena memahami perasaannya. Idul Fitri sudah tentu akan terasa kurang istimewa jika hanya dirayakan sendirian.

Ramadhan tahun ini telah memberi pengalaman dan perasaan yang beragam. Ia juga mengajarkan kepada saya yang kini masih berada di Beijing bahwa kebersamaan dengan orang-orang terkasih adalah sebuah kemewahan. 

Sampai berjumpa lagi Ramadhan, dan selamat berlebaran, teman-teman.

Terpopuler