Asal-usul Penamaan Idul Fitri

Rep: mgrol151/ Red: Erdy Nasrul

Rabu 10 Apr 2024 01:41 WIB

Pemudik pulang ke kampung halaman untuk merayakan idul fitri bersama keluarga. Foto: Republika/Prayogi Pemudik pulang ke kampung halaman untuk merayakan idul fitri bersama keluarga.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kata al-id menurut etimologi bahasa Arab menunjukan sesuatu yang kembali dan berulang-ulang serta kemunculan dan datangnya biasa berulang dari waktu dan tempat. Kata ini berasal dari kata al-‘aud yang bermakna kembali dan berulang.

Sedangkan kata al-i’tiyâd menurut istilah bahasa Arab adalah isim masdar dari kata عَادَ – يَعُوْدُ  , kemudian menjadi nama untuk satu hari yang tertentu karena berulangnya dalam setahun dua kali. Bentuk pluralnya (jama’) adalah a’yâd (أَعْيَاد ). Bangsa Arab menyatakan: عَيَّدَ الْمُسْلِمُوْنَ bermakna kaum Muslimun menyaksikan hari raya mereka.

Baca Juga

Penamaan hari raya sehingga bisa disebut hari raya Idul Fitri karena pada hari itu banyak kebaikan yang berulang. Misalnya, bisa kembali makan pada siang hari setelah dilarang makan karena harus menunaikan puasa selama sebulan, zakat fitrah, penyempurnaan haji dengan thawaf dan daging kurban.

Selain itu, pada hari raya Idul Fitri, biasa orang-orang yang sudah menunaikan ibadah puasa akan berbahagia dan kembali bersemangat. 

Secara historis, Idul Fitri memiliki akar dalam sejarah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Menurut riwayat, pada tahun pertama setelah Hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad dan para sahabatnya merayakan Idul Fitri setelah berpuasa selama bulan Ramadhan. Perayaan ini menjadi tradisi yang terus berlanjut dalam umat Islam sebagai tanda syukur atas selesainya ibadah puasa dan sebagai kesempatan untuk berbagi kebahagiaan dengan sesama.

Selain itu, Idul Fitri juga merupakan waktu untuk bermaaf-maafan dan memperkuat ikatan sosial antar sesama umat Muslim. Hal ini tercermin dalam tradisi saling memberikan maaf, berkunjung ke rumah-rumah keluarga dan teman, serta memberikan sumbangan kepada yang membutuhkan sebagai bagian dari zakat fitrah.

Perayaan Idul Fitri pertama kali diselenggarakan pada 624 Masehi atau tahun ke-2 Hijriyah, yang bertepatan dengan selesainya Perang Badar yang dimenangkan oleh kaum Muslimin.

Jauh sebelum Islam datang, masyarakat jahiliyah Arab telah mempunyai dua hari raya, yaitu hari raya Nairuz dan Mahrajan. Kedua hari itu mereka merayakan dengan pesta, seperti mabuk-mabukan, menari, bahkan acara adu tangkas yang menjadi ritual hari perayaan. 

Namun, melihat kondisi tersebut Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam mengganti penyebutan nama kedua perayaan itu menjadi hari raya yang lebih baik, yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. 

Sebagaimana dijelaskan dalam hadis dari Anas, beliau berkata:

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةَ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ قَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ النَّحْرِ وَيَوْمَ الْفِطْرِ

Terjemah:

Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan penduduk Madinah kala itu memiliki dua hari yang mereka gunakan untuk bermain di masa jahiliyah, lalu Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku telah mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari yang kalian gunakan untuk bermain di masa jahiliyah. Sungguh Allâh azza wa jalla telah menggantikan untuk kalian dua hari yang lebih baik dari itu; yaitu hari Nahr (‘Îdul Adha) dan hari Fithri (‘Îdul Fithri). (HR. Abu Daud, An-Nasai, dan Ahmad)

Terpopuler