Bukber Puasa Jadi Ajang Flexing, Bagaimana Menurut Pandangan Islam?

Rep: Santi Sopia/ Red: Qommarria Rostanti

Kamis 14 Mar 2024 04:02 WIB

Puasa (ilustrasi). Buka puasa bersama berpotensi kehilangan esensinya karena menjadi ajang flexing alias pamer bagi yang melakukannya. Foto: Republika/mgrol 101, mardiah Puasa (ilustrasi). Buka puasa bersama berpotensi kehilangan esensinya karena menjadi ajang flexing alias pamer bagi yang melakukannya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Buka bersama (bukber) menjadi agenda rutin yang dilakukan pada bulan Ramadhan. Bukber menjadi ajang silaturahim dan berkumpul, terlebih bagi mereka yang sudah lama tidak berjumpa karena kesibukan masing-masing.

Namun di era media sosial seperti sekarang, buka puasa bersama berpotensi kehilangan esensinya karena menjadi ajang flexing alias pamer bagi yang melakukannya. Tidak jarang bukber igelar di tempat mewah, misalnya, untuk ditunjukan di media sosial. Bagaimana hal ini dalam pandangan Islam?

Baca Juga

Menurut Ketua PBNU KH Ahmad Fahrur Rozi (Gus Fahrur), mengikuti buka puasa bersama tentu boleh-boleh saja. Asal bukber itu dilakukan dalam batas wajar dan tidak melalaikan kewajiban sholat. 

"Namun sebaiknya dilakukan bersama mereka yang membutuhkan. Atau diberikan saja ke pesantren, panti asuhan agar mereka merasakan makanan yang lebih lezat dari biasanya," kata Gus Fahrur kepada Republika.co.id, Selasa (12/3/2024).

Keutamaan memberikan makanan kepada orang yang membutuhkan ini juga sebagaimana riwayat hadits berikut:

"Barang siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga”. (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Gus Fahrur menekankan sebaiknya tidak ada tujuan pamer, baik untuk bukber maupun berbagi makanan kepada yang membutuhkan. Untuk konten berbagi bisa menjadi inspirasi dan mensyukuri nikmat, tidak untuk berniat pamer.

"Kalau tidak ada tujuan pamer ya boleh saja, sekadar tahadus nikmat, yang tidak boleh jika memang tujuan semata pameran kemewahan, ini terkategori sombong atau menyombongkan diri,  termasuk akhlak tercela yang dibenci Allah SWT," ujar Gus Fahrur.

Larangan pamer atau sombong: 

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi. Ada seseorang yang bertanya: Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus? Beliau menjawab: Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” ( HR Muslim). Wallahualam bishawab.