Muslim Palestina Silih Berganti Rasakan Ketenangan dan Khawatir Selama Ramadhan

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Muhammad Hafil

Senin 24 Apr 2023 11:15 WIB

 Wanita Muslim mengibarkan bendera Palestina selama demonstrasi menandai Hari Al-Quds (Yerusalem) di luar Kedutaan Besar AS di Jakarta, Jumat (14/4/2023).  Hari Al-Quds dimulai pada tahun 1979 ketika mendiang pemimpin Iran Ayatollah Khomeini mengumumkan yang terakhir. Jumat di bulan suci Ramadhan sebagai hari untuk menunjukkan pentingnya Yerusalem bagi umat Islam. Foto: AP Photo/Dita Alangkara Wanita Muslim mengibarkan bendera Palestina selama demonstrasi menandai Hari Al-Quds (Yerusalem) di luar Kedutaan Besar AS di Jakarta, Jumat (14/4/2023). Hari Al-Quds dimulai pada tahun 1979 ketika mendiang pemimpin Iran Ayatollah Khomeini mengumumkan yang terakhir. Jumat di bulan suci Ramadhan sebagai hari untuk menunjukkan pentingnya Yerusalem bagi umat Islam.

REPUBLIKA.CO.ID,YERUSALEM -- Sebuah energi berbeda terasa di malam-malam Ramadhan, di Kota Tua Yerusalem, Palestina. Saat matahari terbenam dan warna oranye menghiasi langit, arus jamaah semakin cepat, mengikuti lentera terang yang menerangi jalan menuju al-Aqsa.

Bagi umat Islam di seluruh dunia, kompleks Masjid al-Aqsa merupakan lokasi Nabi Muhammad SAW diangkat ke surga. Bagi orang Palestina di Israel dan wilayah pendudukan, yang kehidupan sehari-harinya sering dibentuk oleh pembatasan pemerintah Israel, lokasi itu juga merupakan tempat langka, di mana mereka dapat berkumpul dalam jumlah besar dan dengan cara mereka sendiri.

Baca Juga

"Ketika Anda memasuki Kota Tua, ada sesuatu yang membuat Anda rileks. Sulit untuk dijelaskan. Ada begitu banyak orang di sini, namun, ini sesuatu yang tenang, sesuatu yang hampir mistis," kata seorang warga berusia 72 tahun, Issam Sagheer, dikutip di Postguam, Senin (24/4/2023).

Bulan Ramadhan dimaksudkan untuk menjadi waktu pengorbanan, yang mengarah pada pembaruan dan kekuatan. Tapi seiring dengan bulan suci tahun ini menuju akhir, banyak orang di Kota Tua masih tidak bisa menghilangkan kegelisahan yang memuncak.

Beberapa minggu terakhir Ramadhan, terlihat polisi Israel melakukan penggerebekan terhadap jamaah di al-Aqsa dan semburan tembakan roket pembalasan dan serangan militan.

Di bawah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang memimpin pemerintahan sayap kanan paling konservatif dalam sejarah negara itu, para aktivis Yahudi mesianik seolah menguji aturan informal yang telah lama mengatur akses ke situs kuno ini, yang diduduki oleh Israel sejak 1967.

Lapangan Esplanade Suci, tempat al-Aqsa berada, adalah simbol identitas agama dan politik yang kuat bagi orang Israel dan Palestina. Bagi orang Yahudi, itu dikenal sebagai Temple Mount atau Kuil Pertama dan Kedua pernah berdiri. Sementara bagi umat Islam, itu adalah Tempat Suci Mulia, situs tersuci ketiga setelah Makkah dan Madinah di Arab Saudi.

Kesempatan untuk berdoa dan berbuka puasa di dalam kompleks pepohonan al-Aqsa dipandang oleh banyak umat Islam sebagai sebuah upaya ibadah. Tetapi, bagi mereka yang tinggal di sini, pengalaman itu tidak mudah untuk didapatkan.

Umat Muslim dari Tepi Barat dan Gaza harus mendapatkan izin dari pemerintah Israel untuk memasuki Yerusalem. Prosesnya bisa sulit dan buram, yang mana izin ini bisa diberikan kepada beberapa anggota keluarga dan ditolak untuk anggota keluarga yang lain.

Dalam beberapa tahun terakhir, bahkan tampilan pengabdian di al-Aqsa telah diatur. Otoritas Israel melarang Muslim bermalam di masjid (iktikaf), terutama di hari-hari terakhir Ramadhan dengan alasan kekhawatiran bahwa jamaah memiliki rencana melakukan pemberontakan.

“Ramadan tetaplah Ramadhan, tetapi politik saat ini sedang menggemparkan. Tapi tahukah Anda, beberapa hal di sini tidak pernah berubah,” kata Sagheer. Di luar tempat kios ia berjualan, sekelompok gadis tampak lewat dan cekikikan melihat kelompok wisatawan Spanyol yang berusaha sekuat tenaga bergerak ke hulu melewati kerumunan.

Seorang ibu muda, Farah Mohammed, mengingat kembali kunjungan pertamanya ke Al-Aqsa ketika dia berusia 7 tahun. "Awalnya, melihat orang banyak membuat saya takut. Tetapi ketika saya memejamkan mata di al-Aqsa, semuanya berubah. Itu adalah perasaan yang mengagumkan," ucap dia.

Warga lainnya, Amal Jabrah, ingat saat berusia 15 tahun dan bertanggung jawab atas kamera video keluarga. Dia memfilmkan orang banyak di sekitaran masjid, rempah-rempah yang harum. Rekaman ini masih ia simpan sampai saat ini.

Kios-kios pasar yang berjejer di kawasan Muslim kuno Yerusalem memiliki ritme sepanjang tahun ini. Awal Ramadhan adalah untuk panekuk qatayef, diisi dengan kacang dan goreng emas.

Kudapan semolina yang direndam sirup paling laris saat kumpul-kumpul keluarga berkumpul. Tapi puncak kejayaan hidangan bulan ini adalah maamoul, kue manis yang dilubangi dengan tangan dan diisi dengan kenari, pistachio, atau pasta kurma.

Meski kebahagiaan dan keceriaan Ramadhan masih terasa, tetapi tahun ini rasa cemas lebih mendominasi dari biasanya. Seorang pemilik toko manisan keluarga, Ayman dan Mohamed, menyebut tahun ini rasanya lebih berkabut dan tidak tahu persis apa yang akan terjadi beberapa menit berikutnya.

Tapi, di dalam sebuah toko manisan keluarga

Kakak-beradik itu menyebut mereka berada di dalam toko pada malam di awal April, ketika polisi Israel masuk ke salah satu ruang sholat al-Aqsa. Para polisi ini mengatakan jamaah Muslim mencoba mengunci diri di dalam.

Petugas pun menggunakan alat pukul, peluru berujung baja dan granat kejut untuk mengosongkan ruangan. Sementara, mereka mengklaim jamaah melemparkan batu dan petasan ke arah petugas keamanan..

"Suara kekacauan bergema di jalanan bebatuan. Orang-orang berlarian melewati kios, berteriak para umat Muslim sedang dipukuli," ujar Ayman.

Di media sosial, video menyebar seperti api. Kelompok bersenjata di Gaza, Lebanon dan Suriah menyiapkan roket sebagai pembalasan. Di sisi lain, perdagangan di Kota Tua cepat menjadi lesu karena jamaah yang khawatir segera menjauh.

"Bisnis benar-benar melambat. Saya bangun di pagi hari dan bertanya-tanya: Apa selanjutnya?" lanjut dia.

Di suatu malam, beberapa pelanggan membeli sekotak besar maamoul untuk dibawa pulang. Yang lain membayar dengan cepat beberapa kudapan memakai piring plastik, serta bergegas kembali ke kerumunan tepat waktu untuk shalat sebelum matahari terbenam.

Di antara mereka adalah Muntaha Kanan, yang datang bersama kerabatnya dari Ramallah di Tepi Barat. Pria berusia 44 tahun ini menyebut anak-anaknya juga mengajukan izin untuk shalat di Masjid Al-Aqsa, tetapi hanya ia dan istri yang diberikan izin tersebut.

"Jika kekuatan ada di tangan kami, kami akan datang ke al-Aqsa setiap hari," kata dia. Ia pun tersenyum ketika menceritakan antisipasi kunjungan tersebut. Selama dua hari terakhir, ia sudah menyiapkan tas dan perbekalannya dengan rasa gembira.

Dengan maamoul yang dikemas dalam kantong plastik, pasangan itu menuju ke masjid. Matahari hampir terbenam, langit yang bersinar telah berubah menjadi abu-abu. Saat adzan berkumandang, sekawanan burung berhamburan dan jalanan tiba-tiba sepi. Di Gerbang Damaskus, bisa terdengar nyanyian burung pipit.

Seorang penjual jus diam-diam mengucapkan doa, lalu menarik napas dalam-dalam sambil meraih cangkir dan meneguknya. "Setiap hari, setiap hari rasanya ajaib," kata dia. 

Sumber:

https://www.postguam.com/the_globe/world/ramadan-brings-a-rare-calm-and-familiar-worries-to-jerusalems-most-sacred-old-city/article_988b7802-e190-11ed-acf4-73ba9df5f8c1.html