Panduan Fikih Mudik selama Perjalanan, Boleh tak Puasa?

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil

Selasa 18 Apr 2023 17:34 WIB

 Panduan Fikih Mudik selama Perjalanan, Boleh tak Puasa? Foto:  Seseorang sedang mengemudikan mobil (ilustrasi). Saat mengendarai, seseorang terkadang mengalami microsleep yang dapat membahayakan keselamatan. Foto: www.freepik.com Panduan Fikih Mudik selama Perjalanan, Boleh tak Puasa? Foto: Seseorang sedang mengemudikan mobil (ilustrasi). Saat mengendarai, seseorang terkadang mengalami microsleep yang dapat membahayakan keselamatan.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Abdul Muiz Ali menyampaikan penjelasan fikih mudik sebagai tuntunan dan ketentuan selama dalam perjalanan. Dia mengawali pemaparannya dengan menyampaikan bahwa mudik yang berlangsung turun-temurun dalam momentum tertentu termasuk fenomena sosial yang beririsan dengan nilai keagamaan.

Spirit mudik antara lain adalah semangat menyambung silaturahim, berbagi kebahagiaan dengan keluarga dan tetangga di kampung halam, ziarah makam keluarga dan nilai-nilai kebaikan lainnya. Mengutip dari 'Mudik Lebaran' karya Bambang B. Soebyakto, yang tercantum di Jurnal Ekonomi Pembangunan, disebutkan asal kata mudik adalah 'udik' yang artinya desa. Umumnya, mudik Lebaran dilakukan oleh masyarakat perantauan atau bertempat tinggal jauh dari kampung halamannya.

Baca Juga

"Mencintai Tanah Air atau tempat kelahiran kakek nenek moyang bagian dari fitrah dan karakteristik manusia. Seseorang pasti akan ingat kampung halaman. Terlebih saat momentum lebaran seperti hari raya Idul Fitri atau Idul Adha," jelas Abdul Muiz Ali yang akrab dipanggil Kiai AMA dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (18/4/2023).

Rasulullah SAW pun mencintai tanah kelahirannya, kota Makkah, dan beliau sedih meninggalkan kota tersebut. Seandainya bukan perintah Hijrah, tentu Rasulullah tidak meninggalkan kota Makkah.

Muiz menjelaskan, ekspresi cinta Rasulullah SAW terhadap tanah kelahirannya, terlihat dari riwayat Ibnu Abbas dalam hadis riwayat Tirmidzi. Ia menjelaskan betapa cinta dan bangganya Rasullullah SAW pada tanah kelahirannya. Rasa cinta tersebut terlihat dari ungkapan kerinduan Nabi Muhammad terhadap kota kelahirannya.

وَاَللَّهِ إنَّكِ لَخَيْرُ أَرْضِ اللَّهِ، وَأَحَبُّ أَرْضِ اللَّهِ إلَى اللَّهِ، وَلَوْلَا أَنِّي أُخْرِجْتُ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ 

"Alangkah indahnya dirimu (Makkah). Engkaulah yang paling kucintai. Seandainya saja dulu penduduk Mekah tidak mengusirku, pasti aku masih tinggal di sini." (HR At Tirmidzi).

Adapun panduan fikih mudik, Muiz menyampaikan, perjalanan mudik yang dilakukan pada saat menjelang Idul Fitri atau Idul Adha hendaknya dapat memperhatikan ketentuan fikih.

1. BERDOA

Pertama yaitu berdoa. Muiz memaparkan, pada saat hendak mudik ketika sudah memulai melakukan perjalanan hendaknya kita memohon kepada Allah agar selamat sampai tujuan. Terdapat yang selalu dibaca Rasulullah SAW setiap bepergian, yakni:

;اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِى السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِى الأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِى الْمَالِ وَالأَهْلِ

"Ya Allah, Engkau adalah teman dalam perjalanan dan pengganti dalam keluarga. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesulitan perjalanan, kesedihan tempat kembali, doa orang yang teraniaya, dan dari pandangan yang menyedihkan dalam keluarga dan harta." (HR Tirmdzi dan Ibnu Majah)

2. BOLEH MERINGKAS SHOLAT

Boleh meringkas sholat, artinya bila sebuah perjalanan sudah mencapai kurang lebih 89 km (88,704 km), maka seseorang diperbolehkan meringkas sholatnya atau menggabung dua sholat dalam satu waktu. "Ketika kalian bepergian di bumi, maka bagi kalian tidak ada dosa untuk meringkas shalat." (QS An-Nisa: 101)

Praktik meringkas salat (qashar salat) hanya berlaku untuk shalat bilangan empat rakaat, seperti Asar dan Isya yang kemudian diringkas menjadi dua rakaat.

Sedangkan praktik menggabungkan dua salat (jamak sholat) dalam satu waktu hanya bisa dilakukan untuk sholat Zuhur digabung dengan Ashar, Maghrib digabung dengan Isya'. Untuk shalat Shubuh tidak bisa digabung apalagi diringkas.

"Nabi SAW pernah menjamak antara shalat Dzuhur dan Ashar di Madinah bukan karena bepergian, juga bukan karena takut. Saya bertanya: Wahai Abu Abbas, mengapa bisa demikian? Dia menjawab: Dia (Nabi SAW tidak menghendaki kesulitan bagi umatnya." (HR Ahmad)

3. BOLEH TIDAK PUASA

Pada poin ketiga ini, seseorang yang melakukan perjalanan dengan ketentuan jarak tempuh sebagaimana boleh menggabung (jamak) atau meringkas (qasar) sholat, juga diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Jika seorang Muslim tidak puasa karena bepergian maka ia wajib menggantinya setelah Ramadhan.

"Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain..." (QS. Al Baqarah ayat 185)

Dalam kitab fikih ulama, banyak yang menjelaskan ketentuan boleh tidaknya bagi seseorang yang sedang bepergian untuk tidak puasa. Misalnya antara lain disebutkan sebagai berikut.

( وَ ) يُبَاحُ تَرْكُهُ ( لِلْمُسَافِرِ سَفَرًا طَوِيلا مُبَاحًا ) فَإِنْ تَضَرَّرَ بِهِ فَالْفِطْرُ أَفْضَلُ وَإِلا فَالصَّوْمُ أَفْضَلُ كَمَا تَقَدَّمَ فِي بَابِ صَلاةِ الْمُسَافِرِ . ( وَلَوْ أَصْبَحَ ) الْمُقِيمُ ( صَائِمًا فَمَرِضَ أَفْطَرَ ) لِوُجُودِ الْمُبِيحِ لِلإِفْطَارِ . ( وَإِنْ سَافَرَ فَلا ) يُفْطِرُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْحَضَرِ وَقِيلَ يُفْطِرُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ السَّفَرِ

"Dan dibolehkan meninggalkan berpuasa bagi seorang musafir dengan perjalan yang jauh dan diperbolehkan (mubah). Bila dengan berpuasa seorang musafir mengalami mudarat maka berbuka lebih utama, bila tidak maka berpuasa lebih utama sebagaimana telah lewat penjelasannya pada bab shalatnya musafir. Bila pada pagi hari seorang yang bermukim berpuasa kemudian ia sakit maka ia diperbolehkan berbuka karena adanya alasan yang membolehkannya berbuka.

Namun bila orang yang mukim itu melakukan perjalanan maka ia tidak dibolehkan berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang tidak bepergian. Dikatakan juga ia boleh berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang bepergian." (Jalaludin Al-Mahali, Kanzur Raghibin Syarh Minhajut Thalibin, juz 2, hal. 161)

 

Terpopuler