Oleh: Rusdian Lubis, Penulis Buku.
Sehabis salat subuh di Masjidil Aqsa, saya “terpaksa”, karena salah jalan, mencari route lain untuk mencari Gerbang El Amud ( Bab El Amud) yang menuju Jalan Damascus. Hotel saya di jalan itu.
Saya melewati labyrinth yang cukup menakutkan karena sepi, gelap dan kotor. Masih jarang orang lalu lalang. Toko roti baru mulai buka dan satu dua peminta-minta duduk di jalan.
Terdengar suara keras seorang wanita mungkin sedang memarahi suaminya. Sound familiar? Dalam tembok kota tua ini memang masih ada ratusan mungkin ribuan penghuni membentuk suatu komunitas yang pengap dan muram.
Via Dolorosa (Jalan Kesedihan: Nestapa?) bagi banyak peziarah Kristiani (terutama Katholik dan Orthodox) jalan yang diyakini dilalui oleh Yesus sejak diputuskan bersalah oleh Pontius Pilates sampai penyaliban.
Kabarnya route ini beberapa kali berubah. Route yang sekarang mengikuti route peziarah Byzantium dengan 14 stations. Namun beberapa peziarah mempunyai route alternative tergantung pada keyakinan masing masing.
Bagi banyak peziarah, route yang pasti tidak penting, yang lebih penting adalah renungan atau refleksi pada kejadian atau peristiwa sepanjang Via Dolorosa.
Stop ke 5 atau station yang saya temukan tanpa sengaja subuh dini hari itu adalah lokasi dimana Simon dari Cyrene dipaksa oleh serdadu Roma untuk membantu Yesus memanggul kayu salibnya.(Mt 27:32; Mk 15:21; Lk 23:26).
Jalan ini terletak di pojok dimana Via Dolorosa berbelok ke barat dan mulai menanjak ke station ke 6. Disitu, menurut tradisi Kristiani, St. Veronica mengelap wajah Yesus dengan saputangan berlumur darah. Saya lihat relik itu di Basilica St Peter, Roma.
Di pojok itu, saya termenung mengenang cerita tentang Anak Manusia berlumur darah memanggul kayu salib, seperti yang pertama kali saya dengar dari almarhumah Ibu yang bersekolah di SD-SMP Katholik Solo.