Kenaikan Biaya Hidup Bayangi Perayaan Ramadhan di Inggris

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Esthi Maharani

Kamis 06 Apr 2023 07:18 WIB

Lampu merayakan festival Ramadhan Muslim ditampilkan di West End London, Inggris (23/3/2023). Lampu Ramadan pertama di London telah dipasang di Piccadilly Circus yang menampilkan 30.000 lampu ramah lingkungan. Inisiatif ini dipimpin oleh organisasi nirlaba Ramadan Lights UK. Area West End akan menyala selama bulan Ramadan. Foto: EPA-EFE/NEIL HALL Lampu merayakan festival Ramadhan Muslim ditampilkan di West End London, Inggris (23/3/2023). Lampu Ramadan pertama di London telah dipasang di Piccadilly Circus yang menampilkan 30.000 lampu ramah lingkungan. Inisiatif ini dipimpin oleh organisasi nirlaba Ramadan Lights UK. Area West End akan menyala selama bulan Ramadan.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Kehadiran bulan Ramadhan yang penuh dengan kemuliaan hendaknya membuat seluruh Muslim di dunia berbahagia. Namun, melonjaknya biaya hidup sedikit banyak membayangi perayaan dan keceriaan Ramadhan di Inggris.

Brick Lane London timur merupakan jalan bersejarah dan pusat komunitas Bangladesh di London. Biasanya wilayah itu menjadi tujuan ramai bagi para pembelanja selama bulan suci Islam, yang dimulai di Inggris pada malam 22 Maret.

Tetapi tahun ini, Muslim dan pelanggan lainnya mengurangi hal-hal yang tidak penting. Salah satu pemilik Toko Taj, Jamal Khalique, menyebut dirinya harus menaikkan harga untuk mengimbangi inflasi dua digit.

"Hal ini membuat kondisi menjadi lebih sulit bagi orang yang sudah menderita akibat biaya hidup yang tinggi," kata pria berusia 51 tahun ini dikutip di France 24, Kamis (6/4/2023).

Toko Taj diketahui menjual segala sesuatu, mulai dari produk segar dan daging halal hingga permen dan makanan ringan Asia Selatan. Khalique menyebut saat ini orang-orang cenderung membeli apa yang mereka butuhkan dan perlukan, dibandingkan barang tambahan seperti biasanya.

Tekanan bisnis juga dirasakan di seberang jalan, tepatnya di toko Rajmahal Sweets. Biasanya usaha ini ramai dengan pembeli yang memilih suguhan Iftar untuk berbuka puasa setiap hari.

"Orang-orang tidak punya uang karena krisis ini," kata pekerja Rajmahal, Ali.

Pelanggan yang pernah membeli dua hingga tiga kilogram kudapan manis, sekarang hanya membeli setengah kilo. Beberapa prduk yang masih laku adalah jalebis atau adonan tepung goreng yang direndam dalam sirup dan jajanan Turki yang ditaburi gula.

Inggris dan Wales adalah rumah bagi hampir empat juta Muslim. Menurut data sensus yang dirilis tahun lalu, kurang dari 40 persen dari mereka tinggal di daerah yang paling miskin.

Kondisi tersebut membuat krisis biaya hidup sangat menyakitkan bagi komunitas Muslim seperti yang ada di sekitar Brick Lane, salah satu bagian termiskin di London.

Survei pada November 2022 oleh kelompok kampanye Sensus Muslim menemukan, hampir satu dari lima Muslim Inggris mengandalkan bantuan dari bank makanan amal.

"Sangat mengejutkan melihat betapa tergantungnya orang pada bank makanan. Kemiskinan pangan membuat umat Islam tidak bisa berbuka puasa bersama komunitasnya," kata perwakilan Muslim Hands, Sahirah Javaid. Muslim Hands merupakan sebuah badan amal yang mengelola dua dapur komunitas di London dan kota Nottingham di Midlands Inggris.

Huzana Begum merupakan salah satu Muslim yang merasakan kesulitan. Wanita berusia 27 tahun ini menyebut biasanya dengan 20 poundsterling (Rp 372.577) ia bisa mendapatkan semua kebutuhannya.

"Sebelumnya, jika kami membawa 20 poundsterling, kami akan mendapatkan semuanya. Harganya sangat mahal sekarang," ujar dia. Meski Begum telah mencoba untuk mengurangi belanjaan secara umum, tetapi bulan Ramadhan merupakan tantangan yang unik.

Makanan buka puasa setelah matahari terbenam seolah menyatukan kerabat dan komunitas. Ia pun tak ketinggalan menjadi tuan rumah dan memasak untuk keluarga besar, termasuk sepupu. Kondisi itu mendorong dirinya untuk membelanjakan uang daripada menabung.

"Kami punya rencana, saya dan suami saya, setiap bulan kami bisa menabung dari pekerjaan saya dan dari gajinya juga. Tapi bulan ini, kami tidak bisa,"lanjut dia.

Pengecer independen seperti yang ada di Brick Lane melihat lebih banyak persaingan dari raksasa supermarket, seperti Tesco, Sainsbury's dan Asda. Toko retail besar ini disebut telah menyasar Muslim dengan rentang harga Ramadhan mereka sendiri.

"Mereka mampu memangkas harga, sementara kami tidak bisa. Jadi jelas, mereka mengalihkan pelanggan kami ke mereka," ujar Khalique. Toko miliknya disebut telah berdiri sejak 1936.

Selama 34 tahun berkecimpung di bisnis keluarga, ia menyebut belum pernah merasakan kesulitan dalam hidupnya. Namun, hal tersebut ia rasakan belakangan ini.