REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Belajar disiplin dan maksimalisasi waktu adalah keberkahan tersendiri yang sangat luar biasa di bulan Ramadan ini.
“Waktu itu bagaikan pedang. Jika kamu tidak memotongnya, waktulah yang memotongmu” (Ali bin Abi Thalib).
Imam Masjid New York Imam Shamsi Ali menjelaskan jika dalam cara pandang Barat waktu itu adalah uang (time is money). Justru dalam Islam waktu itu adalah hidup.
"Kehidupan manusia hanya bingkaian waktu. Setiap rentang waktu berlalu dari seseorang berlalu pula hidupnya,"ujar dia, Jumat (31/3/2023).
Begitu pentingnya waktu sehingga Allah beberapa kali dan dalam ragam format bersumpah dengan memakai waktu. “Demi masa (wal’ashri), demi Dhuha, demi malam” hanya sebagian dari sumpah-sumpah Allah yang tertuliskan dalam Al-Quran.
Jika berbicara tentang pertanggung jawaban ukhrawi sesungguhnya waktulah yang kemudian menjadi rujukannya. Karena setiap detik, menit, jam, hari dan setiap jenjang waktu itu akan dipertanggung jawabkan penggunaannya.
Waktu untuk setiap orang sama. Semua manusia diberikan 24 jam sehari semalam, 7 hari sepekan. Namun nilai dari waktu yang dikaruniakan bukan pada berapa lamanya. Justru nilainya ada pada bagaimana penggunaannya. Orang lain biasa menyebutnya dengan waktu berkualitas.
Pada aspek urgensi waktu dan upaya memaksimalkan waktu yang Allah karuniakan Ramadan hadir menjadi keberkahan tersendiri. Di bulan Ramadan ini tidak satu jenjang waktu sekecil apapun, kecuali penuh dengan keberkahan (keutamaan dan kebaikan).
Sejak seorang Mukmin bangkit menjelang subuh Allah telah nilai dengan penilaian ibadah. Seorang Ibu yang memasak dan mempersiapkan santapan sahur memiliki nilai keberkahannya. Hingga setiap orang yang makan sahur dengan niat berpuasa diberikan keberkahan yang sangat tinggi. Bahkan sahur memiliki keberkahan tersendiri sebagaimana dijanjikan Rasulullah SAW.
Suasana Ramadan juga tentunya memiliki suasana ubudiyah yang khusus. Karenanya seseorang yang bangun untuk sahur tidak melewatkan begitu saja. Sholat sunnah menjelang fajar menjadi salah satu keberkahan Ramadan yang dahsyat.
Maksimalisasi waktu terus terjadi dari Sholat fajar, dzikir subuh, bahkan ketika seorang “shooim” (orang berpuasa) berangkat ke tempat kegiatan masing-masing. Semuanya membawa keberkahan yang dilipat gandakan. Sholat-Sholat sunnah, termasuk dhuha, hajat, maupun zikir-zikir harian dilipat gandakan dalam pahala. Belum lagi karena Ramadan adalah bulan Al quran, pastinya seorang mukmin akan maksimal dalam menggunakan waktunya untuk mengaji dan mengkaji Al-Quran.
Bahkan segala kegiatan harian yang dilakukan oleh orang berpuasa jika saja sesuai dengan ajaran agamanya memiliki nilai ibadah di sisi Allah SWT. Sehingga pastinya semangat dan motivasi untuk bekerja bukan menurun. Sebaliknya akan semakin meninggi demi meraih pahala yang dijanjikan.
Hingga menjelang buka puasa, di momen terafdhol untuk berdoa, seorang hamba akan merendahkan diri dan jiwanya kepada Pencipta langit dan bumi, menyampaikan segala uneg-uneg dan hajatnya.
Harinya diakhiri dengan berbuka puasa yang juga menjanjikan keberkahan. Di saat berbuka seorang hamba akan merasakan “kegembiraan” (farhatun) sebagai pembuka bagi kegembiraan terbesar di saat berjumpa dengan Tuhannya. Bukan puasa berlanjut dengan Sholat magrib, disusul dengan santap malam yang juga memilki nilai keberkahan.
Malam hari kembali dipersiapkan untuk hari esok yang baru dengan ketaatan (tarawih). Di sebagian komunitas muslim bahkan imam tarawih membacakan satu juz setiap malamnya. Sungguh keberkahan ibadah, keberkahan Al quran, dan keberkahan Ramadan semuanya menjadi keberkahan waktu seorang mukmin.
Bahkan tidur seorang mukmin di malam hari di bulan Ramadhan bernilai Ibadah karena dia tertidur dengan niat suci menjalankan ibadah puasa di keesokan hari. Sehingga setiap detik masa dan detak jantung serta pergerakan nafasnya memiliki nilai dan makna ubudiyah di sisi Ilahi.