REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puasa adalah ibadah yang mengharuskan pelakunya menahan diri dari makan, minum dan hawa nafsu sejak terbit fajar hingga matahari terbenam. Jika tidak mampuh menahan nafsu-nafsu tersebut maka tidak ada pahala puasa baginya.
"Tujuannya meraih ketaqwaan kepada Allah melalui pelatihan menahan nafsu dan syahwat selama sebulan penuh," kata Ahmad Rofi dalam bukunya Pesona Ibadah Nabi.
Ahmad menuturkan , dalam sejarah Islam, ayat Alquran yang memerintahkan puasa adalah surah Albaqarah ayat 183-187. Ayat ini turun di Madinah, dua tahun setelah hijrah.
Ketika itu Nabi Muhammad SAW sampai di Madinah, melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada 10 Muharram (Asyura). Puasa orang Yahudi ini untuk memperingati keselamatan Musa bersama kaumnya Bani Israil dari kejaran pembunuhan oleh Firaun.
Dengan pertimbangan bahwa kaum Muslim mempunyai ikatan emosional dengan ajaran tauhid Nabi Musa, Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada kaum muslimin untuk berpuasa pada hari Asyura tersebut. "Tidak lama kemudian turunlah ayat yang mewajibkan puasa Ramadhan sebagai ibadah utama," katanya.
Secara umum, puasa ada dua macam, yakni puasa fardhu dan puasa sunnah. Puasa fardhu ialah puasa Ramadhan, puasa kafarat, dan puasa nazar. Sedangkan, puasa sunnah adalah puasa Asyura (10 Muharram), puasa Arafah (9 Dzulhijjah), puasa 6 hari dalam bulan Syawal, puasa Senin dan Kamis, dan lain-lain.
Sebagai ibadah yang utama, puasa mengandung dua tujuan. Pertama, penjernihan jiwa atau pengendalian syahwat untuk mencapai kesempurnaan fitrah kemanusiaan. Kedua, peningkatan moral akhlak yang sangat bermanfaat untuk kehidupan sosial yang dewasa dan bermartabat.
Selain melatih kesabaran, puasa juga melatih hidup sederhana, bahkan hidup yang jauh dari kemewahan dunia. Dengan kata lain puasa bisa menjadi simbol pelatihan hidup mandiri yang penuh tanggung jawab atau simbol pendakian taqwa melalui penderitaan fisik demi meraih kebahagiaan rohani.