REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Seorang atlet profesional harus melakoni pertandingan resmi bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Ia pun harus berlatih keras hingga menguras fisiknya. Lalu apakah atlet profesional boleh tidak berpuasa?
Anggota komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga Sekretaris Majelis Masyayikh, KH. Muhyiddin Khotib mengatakan seseorang yang berprofesi sebagai atlet olahraga pasti membutuhkan tenaga ekstra untuk memaksimalkan performanya dalam sebuah kejuaraan atau turnamen tertentu. Maka menurutnya ketika atlet profesional tersebut menghadapi turnamen atau kejuaraan tertentu ketika berpuasa ramadhan, maka ia diperbolehkan untuk tidak berpuasa karena mendapat rukhsah (keringanan) yang sifatnya mubah (الرخصة المباحة).
"Dalam arti ia boleh tidak berpuasa dengan menggantinya nanti atau tetap melakukan puasa. Namun seandainya masih mampu berpuasa, maka puasa tentu lebih baik," kata kiai Muhyiddin Khotib kepada Republika.co.id pada Rabu (29/3/2023).
Ia menjelaskan kondisi Atlet ini di qiyaskan dengan seseorang yang melakukan perjalanan (المسافر) yang mendapatkan rukhsah. aspek kesamaannya adalah keduanya sama-sama akan menghadapi mudharat saat dipertengahan melakukan puasa, baik sebab perjalanan maupun sebab melakukan profesinya sebagai atlet olahraga khususnya yang membutuhkan tenaga ekstra.
Namun, menurutnya alangkah baiknya ia tetap berniat melakukan puasa di siang hari dan tetap berpuasa, barulah ia membatalkan puasanya jika memang sudah dirasa mudharat untuk melanjutkan. Hal ini sebagaimana pekerja berat yang tetap ditaklif berpuasa dan boleh membatalkan jika benar-benar sulit melanjutkan puasanya.
Beberapa hari lalu Pengasuh Pondok Pesantren Ilmu Quran Al Misbah yang juga ketua Aswaja Center Nahdlatul Ulama, KH. Misbahul Munir juga menjelaska kepada Republika.co.id bahwa atlet profesional yang terikat secara profesional dan dituntut untuk menunjukkan performa prima bagi timnya dalam sebuah pertandingan atau kejuaraan yang menguras tenaga fisik secara maksimal ketika bulan suci Ramadhan dapat dikategorikan sebagai pekerja berat yang diatur dalam fiqih.
Kiai Misbah mengatakan para ulama berpendapat tentang orang-orang yang menggeluti pekerjaan berat mendapat keringanan (rukhsoh) untuk membatalkan puasanya. Kendati demikian, menurutnya tetap wajib untuk berniat puasa pada malam hari dan dianjurkan sahur.
"Intinya bagi pekerja berat ada ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan. Itu atlet profesional, yang benar-benar menjadi profesi dalam pekerjaan bukan sekedar hobi, tapi berkaitan dengan pekerjaan. Namun demikian, kalaulah ada rukhsoh kemurahan untuk tidak berpuasa itu diperhatikan urutan-urutannya," kata kiai Misbah
Sebagaimana menukil keterangan Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh:
صاحب العمل الشاق: قال أبو بكر الآجري: من صنعته شاقة، فإن خاف بالصوم تلفاً، أفطر وقضى إن ضره ترك الصنعة، فإن لم يضره تركها، أثم بالفطر، وإن لم ينتف التضرر بتركها، فلا إثم عليه بالفطر للعذر. وقرر جمهور الفقهاء أنه يجب على صاحب العمل الشاق كالحصاد والخباز والحداد وعمال المناجم أن يتسحر وينوي الصوم، فإن حصل له عطش شديد أو جوع شديد يخاف منه الضرر، جاز له الفطر، وعليه القضاء، فإن تحقق الضرر وجب الفطر، لقوله تعالى: {ولاتقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيماً} [النساء:29/4
"Pekerja berat. Menurut Abu Bakar Al-Ajurri, jika khawatir menjadi bahaya karena puasa, orang yang memiliki pekerjaan berat boleh membatalkan puasanya dan menggantinya di lain bulan bila melepaskan pekerjaan itu mendatangkan mudarat baginya. Tetapi jika meninggalkan pekerjaan berat itu tidak membuatnya mudarat, maka ia berdosa karena membatalkan puasa. Tetapi jika darurat itu misalnya juga takkan hilang karena meninggalkannya, maka ia tidak berdosa dalam membatalkan puasanya karena uzur. Sedangkan mayoritas ahli fiqih menyatakan wajib sahur dan niat puasa di malam hari bagi pekerja berat seperti buruh tani, buruh pembuat roti, pandai besi, buruh-buruh tambang. Jika ketika siang ia mengalami haus dan lapar yang mendera, maka ia boleh membatalkan puasanya dan ia wajib mengqadhanya. Tetapi jika darurat benar-benar nyata, maka ia wajib membatalkan puasanya karena firman Allah ta‘ala, ‘Janganlah kaubunuh dirimu karena sungguh Allah begitu kasih kepadamu,’ (An-Nisa ayat 29).
Selain itu apabila atlet tersebut melakukan perjalanan ke luar negeri untuk kejuaraan maka dapat tergolong sebagai musafir. Sebagaimana menukil Jalaluddin Al Mahalli dalam Jam'ul Jawami, tentang mufasir yang boleh membatalkan puasa.
. وخلاف الأولى أي فطر مسافر لا يجهده الصوم فإن جهده فالفطر أولى
Dan menyalahi yang utama adalah pembatalan puasa oleh musafir yang tidak mengalami kesulitan dalam puasa. Tetapi ketika puasa membuatnya sulit, maka ia sebaiknya membatalkan puasa.
Kendati demikian hal ini hanya berlaku bagi par atlet yang profesional dan tidak berlaku untuk olahragawan biasa yang sekedar hobi semata. Dan kendatipun atlet profesional mendapatkan rukhsoh untuk membatalkan puasa, para ulama tentang menganjurkan untuk berpuasa.
"Namun tetap diutamakan adalah memperhatikan panggilan Allah, panggilan Allah itu agar kita berpuasa, orang-orang yang beriman. Rugilah kalau kita tidak menghiraukan panggilan Allah demi dunia walaupun Allah memberi kemurahan . Apabila sudah darurat tidak bisa dihindari, Islam memberi kemurahan tapi secara umum memperhatikan kewajiban (puasa) merupakan rukun Islam. Adapun nanti sudah masuk kategori sebagai pekerja berat itu urutannya sudah disampaikan tadi," katanya.