Oleh: Rusdian Lubis, Pengamat Sosial dan Penulis Buku
Ini tarawih pertama yang saya ikuti di mesjid Al Istiqomah Amigos (agak minggir got sedikit), setelah dua tahunan absen lantaran pandemi. Jamaah lebih sedikit dibanding dua tahun lalu.
Bang Usin yang selalu melucu dengan logat Betawinya pada kultum, sekarang tidak lucu lagi, mungkin lantaran Mak Ijah, pendebatnya sudah wafat, covid. Lelaki bertubuh kecil itu tampak lelah, setelah menderita sakit tahun lalu.
Bang Usin suatu kali membahas tentang fikih bersuci atau thaharah, " Kalau kagak ade aer, kite tuh boleh mengusap kemaluan pakai batu, sehabis pipis, istinjak juge tuh". Mak Ijah berkomentar, "Lu ngomong asal goblek aje Sin, gimane kalau perempuan? Pakai batu juge? Pale lu bau menyan!"
Kultum Bang Usin selalu "out-of-the-box", misalnya bagaimana menggaruk tubuh yang gatal, tetapi salat tidak batal.
Imam kali ini Haji Mahfud, dia masih kuat memimpin salat Tarawih dan Witir, 23 rakaat. Namun suaranya melemah, dia baru sembuh dari operasi katarak. Haji Utay, co-imam mesjid ini, kendati masih garang, tapi juga kelihatan lelah. Pendekar silat Cibitik itu sudah pensiun dari kerja satpam di Departemen Kesehatan.
Saya lihat sekeliling, tampak wajah wajah lesu warga Betawi di Rawabambu. Kaum yang termarjinalkan, terampas dari akar budayanya, tetapi terputus dari kehidupan modern kota Jakarta.
Selain itu, pandemi Covid juga membuat beberapa jamaah kehilangan pekerjaan. Mas Peno, endonan dari Brebes, terpaksa menutup tokonya yang kecil dan sumpek.
Saat pandemi, dia berjualan, selain sembako, juga masker, minyak kayu putih dsb. Barang barang itu masih menumpuk di tokonya. "Gak ada yang beli, lagian harga barang beginian, ternyata lebih murah di mart mart itu".
Yang mengharukan adalah wirid penutup salat, dengarkanlah. Wirid dan suara bedug itu mengiringi saya pulang ke rumah. Di langit, bulan muda tak terlalu terang. Sinarnya bersaing dengan lampu listrik di ujung gang.