REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Nabi Muhammad dikenal sering berdiam diri untuk beribadah. Kecintaannya mengasingkan diri ini juga yang menjadi saksi turunnya wahyu sebagai Nabi dan Rasul di Gua Hira.
Menurut Akram Dhiya Al-Umuri dalam Sahih Sirah Nabawiyah, Nabi Muhammad mengasingkan diri dari kaumnya yang Jahiliyah di Gua Hira yang terletak di Bukit Hira. Posisi gua itu berada di tempat yang lebih tinggi dari Kakbah.
Ibnu Abi Jamrah menuturkan, selama menyendiri di Gua Hira, Nabi Muhammad melakukan tiga bentuk ibadah sekaligus, menyepi, beribadah, dan melihat Baitullah. Rasulullah menyendiri di gua yang sempit itu selama beberapa malam, kemudian kembali kepada keluarganya, dan kembali lagi untuk menyepi.
Kebiasaan itu berlangsung hingga turunnya wahyu dan diangkatnya Muhammad SAW sebagai Utusan Allah. Dalam Fathu Bari dan Shahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah SAW diangkat sebagai nabi pada usia 40 tahun. Imam Baihaqi berkata turun kepada beliau kenabian itu pada usia 40 tahun.’
Ketika sudah diangkat menjadi rasul, Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk berdakwah dan mengamalkan syariat Islam secara sempurna. Sejak itu, masjid menjadi tempat untuk beribadah kepada Allah.
Dalam surat Al Jinn ayat 18 disebutkan,
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
Sesungguhnya masjid-masjid itu milik Allah. Maka, janganlah menyembah apa pun bersamaan dengan (menyembah) Allah.
‘’Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka kamu janganlah menyembah seseorang pun di dalamnya selain (menyembah) Allah.’’ (QS Al Jinn: 18).
Menurut Ahmad Abdurazaq Al-Kubaisi dalam Al-I’tikafu Ahkamuhu wa Ahammiyatuhu fi Hayati Muslim, Nabi Muhammad SAW senantiasa menjalin ikatan dengan Rabbnya. Beliau tak pernah meninggalkan kegiatan rutinnya, termasuk amalan berkala tahunan.
Salah satu amalan berkala yang dilakukan Rasulullah adalah menyendiri dan memutuskan hubungan dengan berbagai kegiatan keluarga dan masyarakat. Menurut Al-Kubaisi, Nabi SAW menjauhi tempat tidurnya, mengencangkan ikat pinggangnya, lalu pergi menyendiri ke masjid untuk berdiri dan sujud guna beribadah kepada Rabbnya dengan khusyuk.
Amalan itu tak pernah terlewatkan. Bila sakit dan ada alasan lainnya, Rasulullah SAW tak pernah lupa mengqadhanya.
“Ketahuilah, kegiatan berkala tahunan itu adalah i’tikaf, yang biasa dilakukan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan,’’ papar Al-Kubaisi. Lalu mengapa Rasulullah SAW tak pernah melewatkan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan?
Menurut Al-Kubaisi, karena sepuluh hari terakhir Ramadhan merupakan kesempatan terbaik yang dipilihkan Allah SWT bagi Rasulullah SAW dan umatnya. Pada kesepuluh terakhir Ramadhan itulah, Nabi Muhammad SAW menyendiri dan ber-khalwat dengan Sang Khalik. Rasulullah bermunajat untuk yang dicintainya, yakni Allah SWT.
I’tikaf merupakan kesempatan untuk mengungkapkan kepatuhan dan ketundukan seorang hamba kepada Rabbnya.
Dalam surat Al Baqarah ayat 125,
وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى ۖ وَعَهِدْنَا إِلَىٰ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
(Ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Ka‘bah) tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia. (Ingatlah ketika Aku katakan,) “Jadikanlah sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat salat.” (Ingatlah ketika) Kami wasiatkan kepada Ibrahim dan Ismail, “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang i'tikaf, serta yang rukuk dan sujud (salat)".